Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Upaya untuk mensyar'ikan Undang Undang


Upaya Mensyar’ikan Undang-Undang di Indonesia
Pensyar’ian peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukan hal baru dalam percaturan politik hukum di Indonesia. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi peluang untuk melakukan itu. Hanya, upaya pensyar’ian itu tidak segampang yang dibayangkan orang. banyak Perda berlabel syariah yang kurang strategis, sebenarnya belum prioritas dan bertentangan dengan sistem hukum nasional, beberapa hal yang harus diperhatikan jika ingin mensyar’ikan peraturan perundang-undangan. Bila hal ini diabaikan, bukan hanya mendapat pertentangan dari masyarakat, peraturan perundang-undangan itu juga dapat dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Jika bertentangan dengan konstitusi dapat dilakukan judicial review MK dan jika bertentangan dengan Undang-Undang dapat di-judicial review di Mahkamah Agung.
Untuk mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, hal pertama yang harus jadi perhatian ialah sistem hukum yang berlaku di negeri ini. UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, adalah tolok ukur utama. Setelah itu adalah UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua yang harus diperhatikan ialah nilai yuridis keagamaan. “Apakah masalah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu bersifat fiqhiyah yang ijtihadiyah atau sudah menjadi bagian integral dari fondasi agama,. Satu hal lagi yang mesti diperhatikan ialah nilai sosiologis. “Apakah secara prioritas sudah dibutuhkan masyarakat atau belum,. Sebagai contoh Sebuah daerah membuat Perda tentang pakaian yang islami. Seluruh pegawai muslimah di daerah itu diharuskan mengenakan rok panjang. Pegawai muslimah yang mengenakan celana panjang mendapat teguran. “Aturan ini tidak pas karena para pegawai itu kebanyakan berangkat kerja naik sepeda motor. Kalau disuruh pakai rok panjang, tentu jadi repot,” . hal ini dikemukakan oleh Mukhtar Zamzami.
Meski mensyar’ikan peraturan perundang-undangan memerlukan jalan berliku, akademisi dan praktisi syariah tidak boleh pesimis. Peluang itu tetap terbuka dengan cara-cara damai dan tidak melakukan kekerasan.
Akan tetapi upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie yang dibawa oleh Snouk Hurgronje memulai dengan pkiran baru tentang Hukum Islam yang mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia  adalah Hukum Adat asli dan didalam Hukum Adat itu memang masuk sedikit-dikit pengaruh Hukum Islam. Lebih lanjut menngemukakan bahwa Hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau sudah diiterima Hukum Adat, jika Hukum Islam diberlakukan  maka hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam tapi Hukum adat. Paham ini memang keliru tetapi tampaknya kekeliruan itu disengaja dalam rangka sistematis melelemahkan hukum Islam di Indonesia.
Pengembosan opini melalui jalur agama, budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mencoba memberangus keberadaan Hukum bila dijadikan Undang-Undang. Penundingan dan fitnah yang dilontarkan kepada para pemikir dan ahli hukum Islam cenderung memojokan akan kehendak berdirinya Negara Islam di Indonesia ini.
Hal ini mengemuka ketika akan disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Sehingga hal tersebut memicu pro kontra sebagaimana munculnya kontraversi terhadap dengan dihembuskannya Islamisasi hukum pidana Indonesia. Penolakan terhadap RUU KUHP sama gencarnya dengan penolakan UU Pornografi tersebut. 
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ide awal dari pembentukan UU Pornografi berasal dari usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) khusus pada Komisi Hukum Dan Politik Wanita Islam Pusat. Dapat pula dipahami akan kekhawatiran pandangan dari golongan yang kontra terhadap Undang-Undang tersebut.
Rocky Marbun mengemukakan Kondisi tersebut terbentuk dikarenakan adanya beberapa permasalahan yang menjadi penyebab, yaitu antara lain:
1.             Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat
Mengapa dalam kurun waktu sekian puluh tahun masyarakat mengalami perubahan dalam mempertahankan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri?
Menurut Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA, beliau mengatakan perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (intern) muapun dari luar masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.
Dikarenakan terdapatnya perubahan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan yang termuat di peraturan perundang-undangan dengan mengkaitkan norma sosial sebagai indikasi adanya pelanggaran hukum sudah tidak dapat menjerat para pelaku tindak pidana pornografi.
Sehingga betapa tepatnya ungkapan oleh Syekh Muhammad Al-Ghozali, yang mengatakan bahwa “Jika kita telah sepakat bahwa TBC adalah penyakit, tentulah kita tidak akan berselisih tentang sebab-sebab penularannya. Demikian pula jika kita telah sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji, tentulah kita tidak akan berselisih tentang pencegahan semua bentuk pamer aurat (tabarruj) dan propaganda ke arahnya yang akan menyebabkan terjadinya perzinaan tersebut.
2.             Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam
Adanya pemahaman yang keliru terhadap hukum Islam sehinga sering kali umat Islam sendiri menjadi penentang akan diterapkannya konsep hukum Islam ke dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Dalam menyampaikan maksud dan kehendak dari sistem hukum Islam tidak dapat hanya menggunakan pendekatan fiqh semata namun juga harus melalui pendekatan fiqh dakwah. Maka tidak heran bila masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam pun menolak adanya konsep hukum Islam.
Wajah yang ditampilkan terhadap hukum Islam sebagi contoh dalam hukum pidana semata yang selalu berkaitan dengan rajm, cambuk dan hukuman mati. Namun tidak pernah diungkapkan secara lugas dan transparan mengenai hikmah-hikmah di balik pemidanaan tersebut.
Al Qur’an sebagai kitab petunjuk untuk seluruh manusia maka Al-Qur'an sudah pasti memuat prinsip-prinsip hukum yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri. Adanya prinsip yang dibangun oleh al-Qur'an mengindikasikan bahwa tidak semua kasuistik yang terjadi dapat diserap melalui pernyataan-pernyataan ayat.
3.             Perbedaan Mahzab Di Dalam Islam
Permasalahan pelik yang sering kali terjadi sehingga terjadi pergesekan di dalam masyarakat Islam khususnya di Indonesia, adalah selalu berkaitan dengan kepada Mahzab mana ia menundukkan dirinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Sehingga perbedaan tersebut tentu pada akhirnya akan pula menimbulkan kendala yang cukup serius.
Sungguh suatu pelajaran yang berharga bagi kita semua apabila kita memperhatikan bersama dengan apa yang telah terjadi pasca-kemenangan Afghanistan terhadap penjajahan (Uni Sovyet) yang melanda negerinya selama berabad-abad.
Tarik ulur mengenai Mahzab mana yang akan diterapkan ke dalam konstitusi mereka akhirnya justru melemahkan mereka sendiri dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketaatan dan ketertundukan terhadap suatu Mahzab secara tak sadar menyeret suatu kaum pada pengikaran akan ketaatan dan ketertundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Empat Imam Mahzab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal) telah melarang pengikut mereka untuk bertaqlid kepada mereka, dan mereka mengecam orang yang mengambil pendapat mereka tanpa didasarkan kepada hujjah (dalil) yang nyata. Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa didasarkan kepada hujjah laksana orang yang mencari kayu bakar di malam hari, dimana dia membawa ikatan kayu bakar yang didalamnya ada ular yang berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak mengetahuinya.”
Satu hal yang perlu juga kita pahami bersama adalah bahwa perbedaan mahzab tersebut hanya sebatas pada masalah-masalah cabang yang hukumnya  sumir (furu’iyyah) namun untuk masalah utama adalah hal yang qath’i (jelas).
4.             Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan khususnya KUHP dan UU Media Massa, selalu termuat unsur kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Namun ironisnya, beberapa ahli hukum dan sosial budaya serta penegak hukum tidak mengindahkan norma agama sebagai salah satu unsur dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan khususnya pornografi dan pornoaksi.
Moh. Mahfud MD mengemukakan, Sistem hukum nasional adalah sistem yang bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu sebagai peraturan perundang-undangan).
Posisi syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali  untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri.
Era reformasi, hukum mengalami perkembangan pesat. Berbagai peratuaran perundang-undangan dibuat untuk menggantikan peraturan lama yang dipandang tidak sesuai dengan perkembangan, khususnya terkait perlindungan terhadap HAM, hak konstitusional warga negara, serta iklim demokrasi. Perkembangan tersebut mempengaruhi politik hukum Islam dalam tata hukum nasional. Beberapa perkembangan tersebut memperkuat kedudukan hukum Islam sebagai Hukum materiil. Diantaranya pemberian wewenang kepada daerah untuk membuat peratuaran peratuaran daerah, sejak UU No. 22 tahun 1999 yang materinya  dapat bersumberkan dari hukum agama. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang membolehkan dibuatnya Hukum Pidana Islam. Kemudian terakhir UU no 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua  UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
E. KESIMPULAN
Politik hukum secara etimologi adalah kebijakan hukum, adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara terminologi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Hukum  Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam dan muatan yang terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan dalam masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini dapat memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini tetapi juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengganti pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial sekarang maupun yang akan datang.
Untuk mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, Pertama UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua nilai yuridis keagamaan,. terakhir  ialah nilai sosiologis.
Upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie dan beberapa faktor lain : Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat, Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam, Perbedaan Mahzab di Dalam Islam dan Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang menghambat perkembangan Hukum Islam.
Posisi syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali  untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri





DAFTAR PUSTAKA
Appeldoorn, LJ. Van., Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), 1981.
Hartono, Sunaryati,  Prof., Dr., CFG., SH, Politik Hukum menuju Satu sistem Hukum Nasional, (Bandung : Alumni) 1991.
Kairsy, David . The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,) 1990
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam
Mahfud, Moh. MD,. Prof.,Dr., Politik Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Varia Peradilan majalah Hukum Tahun XXV no. 290 Januari 2010 (Ikahi : Jakarta)
Manan,  Abdul,Prof., Dr., SH. SIP., M.Hum., Hukum Islam Persoalan Masa Kini dan Harapan Masa Depan dalam Bingkai Pluralisme Bangsa, Jurnal Mimbar Hukum, edisi No. 72, 2010, PPHIMM
Marbun, Rocky, MH.,  Faktor Penghambat Dalam Menerapkan Konsep Hukum Pidana Islam Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi, 
Radhie, Teuku Muhammad dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973.
Rajagukguk,  Erman.,  Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, Disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandungke-37, 2 April 2005.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta :Raja Grafindo), 2008.
Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers,) 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Zamzami Mukhtar, Drs. H., SH., MH., Jalan Berliku Mensyar’ikan Undang-Undang, Badilag.net, Senin, 24 Januari 2011 10:39

0 comments:

Post a Comment