Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Pembatalan Jual Beli Tanah Akibat Harta Bersama


Analisis Yuridis dalam Perkara Kasasi Nomor : 2699 K/Pdt/1996 tentang Pembatalan Kesepakatan Jual Beli Tanah Akibat Harta Bersama
oleh Mukhrom, S.HI, M.H
I.                   Pendahuluan
Kasus pembatalan kesepakatan penjualan tanah atas Harta bersama disertai adanya persoalan wanprestasi (ingkar janji) dalam perkara Nomor : 2699 K/Pdt/1996 antara KESUMA WIJAYA  alias  ACI, sebagai Pemohon  kasasi  I  dahulu  Tergugat  I  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi I-Terbanding, WENTY  PUSPA  KWANNI,  Pemohon kasasi II  dahulu  Tergugat  II  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi II-Terbanding juga Pembanding Melawan ARIFIN,  sebagai Termohon  kasasi  dahulu  Penggugat  dalam  Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi Pembanding sangat menarik untuk dikaji.
Penggugat  Asli sebagai  pembeli  tanah  seluas  3,9  Ha telah  sepakat  secara  lisan  dengan  Tergugat  selaku  penjual  dengan  harga Rp. 2.680.000.000,- (dua  milyar  enam ratus delapan puluh juta ru-piah), Penggugat asli telah memberi uang panjar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), Penggugat  asli  telah  menghitung  keuntungan  dari  tanah sengketa  yang  digunakan  untuk  proyek  perumahan.    Dengan  sebanyak  175  buah  dengan  harta  Rp.  85.000.000,- per  unit  dan  jika habis  terjual  selama  4  tahun,  Penggugat  mendapat  keuntungan sebesar Rp. 3.211.750.000,- (tiga milyar dua ratus sebelas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), tanpa  dasar  Tergugat  I  membatalkan  jual  beli  dan  men-gembalikan  uang  panjar  dengan  demikian  Tergugat  I  ingkar  janji dan melawan hukum yang merugikan Penggugat,   Jumlah  kerugian  Penggugat  sebesar  Rp.  80.000.000,-  (delapan puluh  juta  rupiah)  dan  bunga  2%  sejak  tanggal  16  Februari sampai lunas ditambah  keuntungan  yang diharapkan sebesar Rp.  3.211.750.000,- (tiga  milyar  dua  ratus  sebelas  juta  tujuh  ratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung dijelaskan, Keberatan  kasasi  dari  Pemohon  kasasi  I  dapat  dibenarkan, Pengadilan  Tinggi  salah  menerapkan  hukum,  sebab  perjanjian  lisan baru merupakan Voor Overeenskomst yaitu perjanjian permulaan yang akan  dibuat  di  Notaris  karena  masih  harus  ditindak  lanjuti  dan bagi  para  pihak  yang  membuatnya  sehingga  tidak  mempunyai  akibat hukum. Karena  tanah  tersebut  merupakan  harta  bersama  antara  Tergugat  I  dan  II  selaku  suami  isteri,  maka  menurut  Pasal  36  (1)  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan dari suami isteri. Karena  perjanjian  permulaan  yang  dilakukan  secara  lisan  tersebut  belum  mendapat  persetujuan  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum. Pertimbangan  Pengadilan  Tinggi  tidak  dapat  dibenarkan  yang berpendapat  bahwa  suami  dapat  melakukan  perbuatan  hukum  yang menyangkut harta kekayaan bersama suami isteri karena dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian harta terpisah.  Sejalan  dengan  pertimbangan  mengenai  keberatan  Pemohon kasasi  I,  karena  perjanjian  baru  merupakan  perjanjian  permulaan, maka  tidak  mempunyai  kekuatan  mengingat  bagi  para  pihak  yang membuatnya. Alasan  Pemohon  kasasi  II  dapat  dibenarkan,  sebab tindakan  suami  atau  isteri  atas  harta  bersama  harus  dengan  persetujuan suami isteri. Karena  belum  ada  persetujuan  isteri  maka  tindakan  Tergugat  I  membuat perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.
Dari uraian diatas,  Harta bersama (gono gini) adalah harta yang didapat suami isteri sepanjang perkawinannya dari sejak keduanya melangsungkan perkawinan sampai terpisah (disebabkan salah satunya meninggal dunia atau perceraian). Suami tidak bisa bertindak sendiri atas hartanya tanpa persetujuan isteri karena harta tersebut merupakan harta bersama, sehingga seorang suami yang menjual tanahnya walaupun telah melakukan kesepakatan jual beli tanah dengan isteri dengan pembeli tetap tidak sah secara hukum sehinggga dianggap ingkar janji  (wanprestasi) oleh pembeli.

II.                Perumusan Masalah
Tindakan pembatalan sepihak oleh Penjual terhadap pembeli dalam masalah jual beli tanah dengan alasan kesepakatan jual beli baru kesepakatan secara lisan dan harta tersebut merupakan harta bersama (harta yang diperoleh selama perkawinan) sehingga diperlukan persetujuan isteri atau suami. Jual beli tidak sah secara hukum bila hanya sepihak yang melakukannya. Dan juga sejauh mana penjual dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi (ingkar janji) dalam tindakannya. Dari hal-hal tersebut didapat perumusan masalah sebagai berikut?
1.      Apakah dibenarkan secara hukum tindakan pembatalan kesepakatan (perjanjian) jual beli tanah atas harta bersama dengan alasan tanpa persetujuan isteri atau suami serta kaitannya dengan wanprestasi?
2.      Bagaimana analisis yuridis perkara No. Perkara Nomor : 2699 K/Pdt/1996?

III.             Tinjauan pustaka atas tanah,  perjanjian, wanprestasi dan harta bersama
Dalam  pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam.
Sedangkan dalam hukum positif kita, tanah itu dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di dalam pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (4)). Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa “Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang”.[1]
Dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara. Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouseproperty is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do without it”.[2] Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak melepaskan haknya ( peralihan hak). Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke mengenai hak milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural right and that the purpose of Government is to protect and preserve natural property right.[3] Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Implementasi dari jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah ( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam Undang Undang Pokok Agraria.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik meninggal dunia. Perolehan hak pada dasarnya ada dua : yaitu peralihan hak dan perolehan hak baru. Peralihan hak  berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan atau bangunan tersebut sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya beralih kepada subjek hukum A ke subjek hukum ke B.  Sedangkan perolehan hak baru  biasanya berasal dari tanah negara kemudian diperoleh subjek pajak. Atau konversi hak, contohnya, dari hak adat menjadi hak milik.[4]
a. Peralihan Hak
Peralihan hak dapat terjadi pada  peristiwa :
1.                  Jual beli
2.                  tukar-menukar
3.                  hibah
4.                  hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan epada orang pribadi  atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5.                  Waris
6.                  Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitupengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyer taan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut
7.                  pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
8.                  Penunjukan  pembeli  dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang  sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang
9.                  Pelaksanaan  putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak  dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukandalam putusan hakim tersebut;
10.              Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan  usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
11.              Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mend irikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
12.              Pemekaran usaha, yaitu  pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha  yang lama
13.              Hadiah yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau  bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian Hak Baru  
Pemberian hak baru dapat terjadi pada peristiwa :
1.      kelanjutan  pelepasan hak,  yaitu pemberian hak baru kepadaorang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2.      Di luar pelepasan hak, yaitu  pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi  atau badan hukum dari Negara atau daripemegang hak milik menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam jual beli tanah harus adanya kesepakatan atau perjanjian, Suatu perjanjian bisa dikatakan sah dan berlaku mengikat para pihak yang membuat perjanjian bila perjanjian itu sudah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain:
1.   Kata sepakat yang membuat perjanjian
2.   Kecakapan pihak-pihak yang melakukan perjanjian
3.   Obyek perjanjian itu harus jelas
4.   Perjanjian itu dibuat atas dasar suatu sebab yang  dibolehkan.
Perjanjian mempunyai unsur persetujuan, persesuaian kehendak para pihak, ada kewajiban para pihak secara timbal balik, dibuat secara tertulis sebagai alat bukti.
Asas-asas/prinsip-prinsip yang mana merupakan pondasi, tiang atau pilar dari pembuatan perjanjian, yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak (Sistem Terbuka)
Sistem terbuka artinya para pihak dalam perjanjian bebas mengemukakan kehendak, mengatur hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUH.Perdata. menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata "semua" menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum.
b. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)
Artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak tercapainya kata sepakat, meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan, yang disebut akte.
Namun perlu dipertimbangkan, bahwa sebagian masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya perjanjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Di samping itu dari segi pembuktian perjanjian lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.
c. Asas Kekuatan Mengikat
Artinya perjanjian yang dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya perjanjian) mengikat para pihak untuk ditaati (Pasal 1338 ayat 1). Perjanjian tersebut hanya dapat dicabut atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat 2)
Menurut Indrareni Gandadinata yang mengutip pendapat Rutten dalam buku karangan Purwahid Patrik, azas-azas Hukum Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada 3 (tiga), yaitu :
1.      Azas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
2.      Azas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.
3.      Azas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.[5]

Sementara itu Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “ performance ” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term ” dan “condition ” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa :
(1)  Memberikan sesuatu;
(2)  Berbuat sesuatu;
(3)  Tidak berbuat sesuatu.
Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi ( default  atau  non fulfiment  ataupun yang disebut juga dengan istilah  breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
(1)  Kesengajaan; 
(2)  Kelalaian; 
(3)  Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).[6]
Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu . Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure , yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).
Berbeda dengan hal tersebut diatas, bilamana perjanjian hanya sebatas lisan di depan notaries dalam artian kesepakatan tertulis maka dalam yurisprudensi putusan Kasasi  Mahkamah Agung No. 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal putusan   18 September 1998 dengan susunan Majelis  J. DJOHANSYAH, SH.,  H. TOTON SUPRAPTO, SH dan Ny. ASMA SAMIK IBRAHIM, SH menghasilkan kaidah baru dalam hukum.
“Perjanjian  lisan,  baru  merupakan  perjanjian  permulaan  yangakan  ditindak  lanjuti  dan  belum  dibuat  di  depan  Notaris,  belum mempunyai  kekuatan  mengikat  bagi  para  pihak  yang  membuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum.”   
Adapun mengenai harta bersama sebagaimana dalam Putusan Kasasi No. 2691 PK/Pdt/1996, Penjelasan mengenai Harta Bersama ditegaskan Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974.
Bab VII
Harta Benda dalam Perkawinan
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pula mengenai harta bersama yaitu :
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri.

Pasal 86
1.      Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan.
2.      Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai sepenuhnya olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.[7]
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.

IV.             Analisis yuridis perkara terhadap putusan Perkara Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor : 2699 K/Pdt/1996
a.      Latar Belakang Masalah
Mahkamah Agung RI dalam putusan Kasasi Nomor : 2699 K/Pdt/1996 telah menjatuhkan putusan dengan Amar Putusan sebagai berikut :
-        Mengabulkan  permohonan  Kasasi  dari  Pemohon  kasasi  I  : KESUMA  WIJAYA  dan  Pemohon  kasasi  II  :  WENTY  PUSPA KWANNI ;
-        Membatalkan  putusan  Pengadilan  Tinggi  Medan  tanggal  14  No-vember  1995  No.  86/Pdt/1995/PT.Mdn.  yo  putusan  Pengadilan Negeri Medan tanggal 25 Oktober 1994 No. 87/Pdt.G/1994/PN.Mdn ;
 Mengadili Sendiri :
 Dalam Konpensi :
Tentang eksepsi Tergugat I :
  Menyatakan eksepsi Tergugat I tidak dapat diterima ;
Tentang eksepsi Tergugat II :
  Menyatakan eksepsi Tergugat II tidak dapat diterima ;
Dalam Pokok Perkara :
-        Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
-        Menyatakan  Sita  Jaminan  yang  dilakukan  Pengadilan  Negeri  Me-dan  tanggal  24  Maret  1994  No.  87/Pdt.G/1994/PN.Mdn  jo  Berita Acara  Sita  jaminan  tanggal  24  Maret  1994  No. 87/Pdt.G/1994/PN.Mdn. tidak sah dan tidak berharga ;
-        Memerintahkan  Pengadilan  Negeri  Medan  untuk  mengangkat  Sita Jaminan tersebut ;
 Dalam Rekonpensi :
Gugatan  Rekonpensi  Penggugat  dalam  Rekonpensi/Tergugat  I dalam Konpensi :
-        Menyatakan gugatan Rekonpensi tidak dapat diterima ;
Gugatan  Rekonpensi  Penggugat  dalam  Rekonpensi/Tergugat  II dalam Konpensi :
Tentang eksepsi :
-        Menyatakan  eksepsi  Tergugat  dalam  Rekonpensi/Penggugat  dalam Konpensi tidak dapat diterima ;
 Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
-        Menghukum  Penggugat  dalam  Konpensi/Tergugat  dalam  Rekon-pensi  dan  Penggugat dalam  Rekonpensi/Tergugat  Konpensi  untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ditetapkan Rp. 50.000,-
Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut dilatarbelakangi dengan adanya Kasus penjualan tanah atas hasil perolehan bersama suami isteri atau disebut juga Harta bersama disertai adanya persoalan wanprestasi (ingkar janji) dalam perkara No. Nomor : 2699 K/Pdt/1996 antara KESUMA WIJAYA  alias  ACI, sebagai Pemohon  kasasi  I  dahulu  Tergugat  I  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi I-Terbanding, WENTY  PUSPA  KWANNI,  Pemohon kasasi II  dahulu  Tergugat  II  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi II-Terbanding juga Pembanding Melawan ARIFIN,  sebagai Termohon  kasasi  dahulu  Penggugat  dalam  Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi Pembanding.
Penggugat  Asli sebagai  pembeli  tanah  seluas  3,9  Ha telah  sepakat  secara  lisan  dengan  Tergugat  selaku  penjual  dengan  harga Rp. 2.680.000.000,- (dua  milyar  enam ratus delapan puluh juta rupiah), Penggugat asli telah memberi uang panjar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), Penggugat  asli  telah  menghitung  keuntungan  dari  tanah sengketa  yang  digunakan  untuk  proyek  perumahan.    Dengan  sebanyak  175  buah  dengan  harta  Rp.  85.000.000,- per  unit  dan  jika habis  terjual  selama  4  tahun,  Penggugat  mendapat  keuntungan sebesar Rp. 3.211.750.000,- (tiga milyar dua ratus sebelas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), tanpa  dasar  Tergugat  I  membatalkan  jual  beli  dan  men-gembalikan  uang  panjar  dengan  demikian  Tergugat  I  ingkar  janji dan melawan hukum yang merugikan Penggugat,   Jumlah  kerugian  Penggugat  sebesar  Rp.  80.000.000,-  (delapan puluh  juta  rupiah)  dan  bunga  2%  sejak  tanggal  16  Februari sampai lunas ditambah  keuntungan  yang diharapkan sebesar Rp.  3.211.750.000,- (tiga  milyar  dua  ratus  sebelas  juta  tujuh  ratus lima puluh ribu rupiah).
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung, Keberatan  kasasi  dari  Pemohon  kasasi  I  dapat  dibenarkan, Pengadilan  Tinggi  salah  menerapkan  hukum,  sebab  perjanjian  lisan baru merupakan Voor Overeenskomst yaitu perjanjian permulaan yang akan  dibuat  di  Notaris   karena  masih  harus  ditindak  lanjuti  dan bagi  para  pihak  yang  membuatnya  sehingga  tidak  mempunyai  akibat hukum.
  Karena  tanah  tersebut  merupakan  harta  bersama  antara  Tergugat  I  dan  II  selaku  suami  isteri,  maka  menurut  Pasal  36  (1)  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan dari suami isteri.   Karena  perjanjian  permulaan  yang  dilakukan  secara  lisan  tersebut  belum  mendapat  persetujuan  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum.
Pertimbangan  Pengadilan  Tinggi  tidak  dapat  dibenarkan  yang berpendapat  bahwa  suami  dapat  melakukan  perbuatan  hukum  yang menyangkut harta kekayaan bersama suami isteri karena dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian harta terpisah. Sejalan  dengan  pertimbangan  mengenai  keberatan  Pemohon kasasi  I,  karena  perjanjian  baru  merupakan  perjanjian  permulaan, maka  tidak  mempunyai  kekuatan  mengingat  bagi  para  pihak  yang membuatnya.    Alasan  Pemohon  kasasi  II  dapat  dibenarkan,  sebab tindakan  suami  atau  isteri  atas  harta  bersama  harus  dengan  persetujuan suami isteri. Karena  belum  ada  persetujuan  isteri  maka  tindakan  Tergugat  I  membuat perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.
b.      Analisa Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung membenarkan keberatan  Pemohon Kasasi dengan dua alasan sebagai berikut :
1.       Perjanjian  lisan baru merupakan Voor Overeenskomst yaitu perjanjian permulaan yang akan  dibuat  di  Notaris   karena  masih  harus  ditindak  lanjuti  dan bagi  para  pihak  yang  membuatnya  sehingga  tidak  mempunyai  akibat hukum.
2.      Harta  bersama  antara  Tergugat  I  dan  II  selaku  suami  isteri, tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan dari suami isteri.   Karena  perjanjian  permulaan  yang  dilakukan  secara  lisan  tersebut  belum  mendapat  persetujuan  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum.
Perjanjian lisan yang masih  harus  ditindak  lanjuti  dan  belum  dibuat  di  depan  Notaris  seperti yang  dimaksud  dalam  surat  Penggugat tanggal  19  Februari  1994  tersebut di atas, maka perjanjian seperti itu belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya sehingga tidak mempunyai akibat hukum.
Kekuatan lisan bisa menyebabkan berubah-ubah alur fikiran, sehingga lisan tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum suatu perjanjian, peluang –peluang pelanggaran perjanjian dan ketidakadilan akibat hanya kesepakatan secara lisan sangat terbuka lebar beberapa orang akan menangkap suatu ide dan ucapan seseorang dengan hasil yang berbeda. Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan dirinya sendiri sehingga akan melanggaran aturan-aturan  yang adil dan layak.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
  3. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban.
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Dalam putusan kasasi tersebut dijelaskan, bahwa harta yang akan dijual adalah harta bersama dalam artian milik suami isteri maka bila milik bersama diperlukan kesepakatan dari suami isteri dan pembeli agar perjanjian jual beli sah secara hukum dan sesuai serta memenuhi Pasal 1320 Perdata sehingga keputusan sepihak atau salah satu (suami/isteri) untuk menjual harta kepada pihak lain tidak sah secara hukum. Begitupula dalam kasus jual beli tanah ini antara Penggugat (asli) lawan Tergugat 1 (suami)  dan Tergugat 2 (isteri), walaupun Tergugat 1 setuju dengan kesepakatan secara lisan di depan notaris dengan Penggugat namun karena Tergugat 2 tidak menyetujui dengan alasan obyek tersebut adalah harta bersama sehingga memerlukan persetujuannya maka perjanjiannya menjadi tidak sah.
Masalah kewenangan jual beli tanah, Adi Mansar berpendapat bahwa :
Yang berwenang melakukan tindakan jual-beli adalah :
1.      Orang yang cakap hukum
2.       Badan Hukum yang diwakilkan kuasanya.
3.      Pengampu atau wali.
4.      Seorang suami/isteri yang mendapat persetujuan suami/isteri hal ini diatur dalam pasal 35 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974.[8]
Dari kasus perkara ini dengan putusan kasasi nomor 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998 melahirkan kaidah hukum sebagai yurisprudensi :
“Tindakan terhadap harta bersama oleh  suami  atau  isteri  harus mendapat persetujuan suami isteri”
“Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami  dan  belum  disetujui  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum”

V.                Penutup
Suatu kesepakatan atau perjanjian tidak berakibat hokum bila sebatas hanya lisan mengingat kesepakatan tersebut masih premature dan berkemungkinan berubah, agar berkekuatan hokum setiap perjanjian harus tertulis didepan pejabat yang berwenang.
Putusan ini merupakan terobosan baru karena belum ada peraturan yang mengatur kekuatan perjanjian lisan sehingga diharapkan putusan ini dapat atau sebagai tolak ukur bagi aparat hokum, pengacara, maupun penegak hokum.
Putusan kasasi No. 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998 telah melahirkan 3 doktrin hukum sebagai yurisprudensi yaitu :
1.      Perjanjian  lisan,  baru  merupakan  perjanjian  permulaan  yang akan  ditindak  lanjuti  dan  belum  dibuat  di  depan  Notaris,  belum mempunyai  kekuatan  mengikat  bagi  para  pihak  yang  membuat-nya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum.
2.      Tindakan terhadap harta bersama oleh  suami  atau  isteri  harus mendapat persetujuan suami isteri.
3.      Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami  dan  belum  disetujui  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum.


DAFTAR PUSTAKA
Andrarini, Fitika, Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak atas Tanah karena Pewarisan, Universitas Diponogoro, 2008, semarang

Cahyono, Pembatasan asas “freedom of contract” dalam Perjanjian Komersial”, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVI No. 299 Oktober 2010, Ikahi, 2010, Jakarta.

Gandadinata, Indraneti, Wanprestasi dan penyelesaiannya terhadap kredit kepemilikan rumah, Universitas Diponogoro, 2007, Semarang

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Djambatan, 2006, Jakarta

Mansar, Adi, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Hukum Tanah), YLBHI dan PSHK, 2007, Jakarta

Pusdiklat Teknis Balitbang Kumdil MA RI, Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung RI, 2008, Jakarta

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan





[1][1] Buang Affandi, Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Pengikatan Jual Beli di Jakarta Selatan, Undip, 2008, Semarang
[2]  Budi Djatmiko Hadiatmodjo, Karakter Hukum Sertifikat Tanah, http://sertifikattanah.blogspot.com/, 15 Mei 2010.
[3] Ibid
[4] Fitika Andrarini, Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak atas Tanah karena Pewarisan, Universitas Diponogoro, 2008, semarang
[5] Indrareni Gandadinata, Wanprestasi dan Penyelesaiannya, Universitas Diponogoro, 2007, Semarang.
[6] Ibid
[7] Pusdiklat Teknis Balitbang Kumdil MA RI, Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung RI, 2008, Jakarta
[8] Adi Mansar, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Hukum Tanah), YLBHI dan PSHK, 2007, Jakarta