Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Ushul Fiqh dan Ulama Ekonomi Syariah

Epistemologi dalam Ilmu Hukum Perdata


oleh Mukhrom, S.HI, M.H
sumber  :http://mukhrom-albantani.blogspot.com/
A. PENDAHULUAN
Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme.

Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Hadari Nawawi mendefinisikan Epistimologi adalah filsafat yang membahas cara kerja atau proses dalam usaha/kegiatan manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar secara mendalam, dan Surajiyo menerangkan Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan.

Epistemologi adalah "the theory of knowledge." Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan "the branch of philosophy which concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims to knowledge". Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.

Ilmu hukum adalah ilmu yang berbicara dan mempelajari hal-hal mengenai hukum. sedangkan Ilmu adalah kebenaran obyektif atau tahu secara tepat “apa sebabnya sesuatu demikian atau mengapa sesuatu demikian atau tahu sebab-sebab sesuatu demikian” dalam kesadaran manusia. Misalnya tahu perbedaan mengapa atau apa sebabnya suatu pelanggaran hukum dikategorikan sebagai pelanggaran pidana atau perdata, atau tahu secara benar perbedaan kecerdasan intlektual dengan kecerdasan emosional, antara Administrasi Publik dan Administrasi Privat dll. Dengan kata lain Ilmu tidak diketahui oleh pada umumnya manusia.

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil.

Filusuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela. 

Hukum merupakan sistem pengatur terpenting dalam segala aspek kehidupan manusia. Berbagai landasan hukum sering dijadikan patokan oleh manusia dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Benthan menerangkan, hukum itu untuk memaksimalkan kesenangan sebanyak-banyaknya masyarakat (the gretaest happinesfor the greatest number), menurut Von savigny, h ukum itu pengejawantahan (penerapan) kesadaran hukum masyakat (legal consciece of society, rechtsbewutzijm). Ajaran ini menemukan pembenaran bahwa hukum berbeda-beda antara masyarakat yang berbeda. Ajaran ini juga mengajarkan agar hati-hati dalam “mengimpor” hukum dari tempat lain yang belum tentu cocok.

Istilah Hukum Perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan Jepang. Hukum perdata disebut juga hukum sipil (civilrecht) dan hukum privat (privatrecht). Adapun menurut Subekti, perkataan hukum perdata mengandung dua istilah, yaitu : pertama, hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum materiil, yaitu : segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Termasuk dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua, hukum perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari hukum dagang. Van Dunne mengartikan Hukum perdata adalah suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya ; hak milik dan perikatan. Sedangkan Rachmawati mengartikan hukum perdata adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan didalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum perdata adalah Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1. Hukum keluarga
2. Hukum harta kekayaan
3. Hukum benda
4. Hukum Perikatan
5. Hukum Waris

Sistem Hukum Perdata di Indonesia. Sistem hukum perdata di Indonesia bersifat pluralism (beranekaagam). Keanekaragaman ini sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan adanya Pasal 163 IS dan Pasal 131 IS. Pada pasal 163 IS disebutkan bahwa golongan penduduk di Indonesia dibagi 3, yaitu:
1. Golongan eropah
2. Golongan timur asing
3. Golongan bumi putera

Pasal 131 IS megatur mengenai hukum yang berlaku bagi golongan penduduk tersebut.

  1. Untuk golongan eropah berlaku hukum perdata eropah (BW)
  2. Untuk golongan timur asing tionghoa berlaku seluruh hukum perdata eropah dengan beberapa pengecualian dan tambahan. Untuk golongan timur asing bukan tiongho berlaku hukum perdata eropah dan hukum adatnya masing-masing.
  3. Untuk golongan bumi putera berlaku hukum adatnya masing-masing, kecuali yang mengadakan penundukan secara sukarela berdasarkan S. 1917 No. 12, yaitu: Tunduk pada seluruh hukum perdata eropah


  • Tunduk pada sebagian hukum perdata eropah
  • Tunduk pada perbuatan tertentu
  • Tunduk secara diam-diam

Berdasarkan uraian diatas maka ada beberapa masalah di bahas dalam pembahasan ini, penulis mengkerucutkan berbagai masalah masalah epistemologi pada ilmu hukum perdata di Indonesia bukan secara global sehingga dengan demikian akan ditemukan titikfokus, dalam pembahasan makalah ini akan dibahas :
  1. Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya ilmu hukum perdata diIndonesia ditinjau dari sejarah, subyek, obyek dan subtansinya?
  2. Bagaimana prosedur memperoleh ilmu dari obyeknya melalui proses berfikir dan karakteristik kebenaran hasil berpikir sebagai ilmu hukum ?

B. EPISTEMOLOGI DALAM ILMU HUKUM PERDATA

a. Dasar hukum perdata di Indonesia

Proses pembentukan hukum perdata di Indonesia bukanlah seperti benda yang jatuh dari langit akan tetapi secara bertahap dan terus menerus, akan tetapi harus mengandung kebenaran keilmuan merupakan hasil berpikir hakiki berupa generalisasi yang maknanya bersifat umum sementara implementasi dan operasionalnya dalam empiris selalu mungkin berbeda Misalnya makna keadilan, keberaniaan, perdamaian. Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada kitab Undang Undang hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. sebagian materi B.W sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan undang Undang RI miasanya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU kepailitan.

Pada 31 Oktober 1837 Mr. C.J.Scholten Van Oud Haaarlem diangkat menjadi Ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A.Van Vloten dan Mr.Meyer masing-masing sebgai anggota yang kemudian anggotanya diganti dengan Mr. J. Scheneither dan Mr.A.J. Van Nes. Indonesia diumumkan pada tangal 30 April 1847 melalui Staatsblaad no. 23 dan berlaku Januari 1848 dengan berlakunya asas konkordansi/asas persamaan, setelah Indonesia merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 pra amandemen :
Segala badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini. Berdasarkan aturan peralihan dalam undang undang dasar 1945 pra amandemen itu pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 untuk lebih menegaskan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang dasar 1945.

KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang Undang baru berdasarkan Undang Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai Induk hukum perdata Indonesia. Menurut Sudikno Mertokusumoh, keberlakuan hukum produk dan peninggalan Belanda tersebut di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain :
  1. Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara mendalam tentang mengapa “hukum Belanda masih berlaku di Indonesia. Tatanan hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat sebagai kelanjutan dari tata hukum Belanda, tetapi sebagai hukum nasional.
  2. Sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan perundang-undangan serta dibutuhkan; dan
  3. Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi.

Kaidah hukum perdata dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain bentuk, subyek hukum, dan substansinya. berdasarkan bentuk hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis, terdapat di dalam peraturan peraturan-peraturan perundang-undangan, seperti KUH Perdata, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun kaidah hukum tidak tertulis adalah kaidahkaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan bermasyarakat (kebiasaan/adat) seperti hukum adat dan hukum Islam.

b. Subyek, obyek dan sumber hukum perdata di Indonesia.

Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubjek (belanda) atau law of subject (inggris),pada umumnya rechtsubjek diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban”. menurut Algra, Pengertian subyek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban jadi mempunyai wewenang hukum (Rechtbevorgheid) adalah kewenangan untuk mempunyai hak dan kewajiban untuk menjadi subyek dari hak-hak yang menjadi subyek hukum adalah manusia dan hukum. 

Subjek hukum perdata dibedakan menjadi dua macam, manusia dan badan hukum. Manusia dalam istilah biologis bahwa manusia yang berakal budi (mampumenguasai mahluk lainnya) dan secara yurisi dipersamakan dengan orang atau individu hal ini karena manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kewenangan hukum.

Kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi subyek hukum yaitu sebagi pendukung hak dan kewajiban. Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan tertentu, harta, kekayaan serta hak dan kewajiban.

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dan dalam bahasa hukum maka obyek hukum disebut ‘Hak’ yang dapat dikuasai dan/atau dmiliki subyek hukum. Secara umum hak dapat dibedakan ;
  1. Hak Mutlak (absolut) yakni hak yang dimiliki oleh seseorang guna melakukan suatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan setiap orang wajib menghrmati hak tersebut (HAM).
  2. Hak nisbi (relatif) yakni, hak yang lahir di kemudian yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk menuntut agar orang lain memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Substansi yang diatur dalam hukum perdata,yaitu pertama dalam hubungan keluarga dan kedua dalam pergaulan masyarakat. Dalam keluarga akan timbul orang (badan pribadi) dan hukum keluarga, sedangkan dalam pergaulan masyarakat akan menimbulkan harta kekayaan, hukum perikatan dan hukum waris.

Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sedangkan menurut Titik Triwulan Tutik sumber hukum dalam ilmu pengetahuan hukum digunakan dalam beberapa pengertian antara lain ;

  1.  Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘asalnya hukum’ ialah berupa keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya, keputusan itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.
  2. Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘tempat’ ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Bentuknya berupa Undang Undang, kebiasaaan, traktat, yurisprudensi, atau doktrin dan terdapat dalam Undang undang 1945, ketetapan MPR,perpu, peraturan pemerintah, keppres, dan lainnya
  3. Sumber hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat atau seyogyanya mempengaruhi kepada penguasa dalam menentukan hukumnya. Misalnya keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan ataupun perasaan akan hukum.

Dalam ilmu hukum, sumber hukum juga dapat dibedakan menjadi :
  1. sumber pengenalan hukum (kenbron vanhetrecht), sumber hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat dketemukannya hukum; 
  2. sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum (welbron van het recht) sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal sumber nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo sumber hukum terbagi dua :


  1. Sumber hukum yang bersifat hukum. Yaitu sumber hukum yang diakui oleh hukum dan secara langsung bisa menciptakan hukum.
  2.  Sumber hukum bersifat sosial. Yaitu yang tidak dapat pengakuan secara formil oleh hukum sehingga tidak secara langsung dapat diterima sebagai hukum.1

Pada dasarnya sumber hukum perdata, meliputi sumber hukum materiil dan formal. Sumber hukum materiil adalah sumber yang menentukan isi hukum, yaitu tempat dimana materi hukum itu diambil. Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan). Keadaan geografis, penelitian ilmiah, perundangan internasional, sedangkan sumber hukum formal,yaitu tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan cara atau bentuk yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku, misalnya UU, perjanjian antar negara, yurisprudensi, kebiasaan.

c. Kebenaran Ilmu dan Hukum

Kebenaran ilmu adalah hasil usaha manusia berpikir dan menyelidiki tentang pengetahuan dan keilmuan menghasilkan kebenaran nisbi, yang selalu dapat berubah dan berkembang. Ilmu berawal dari dorongan ingin tahu manusia yang sangat besar untuk tahu sesuatu yang menghasilkan “pengetahuan (knowladge)” yakni segala sesuatu yang diketahui manusia demi kesadaran manusiawinya. Manusia memiliki pengetahuan demi ingin tahunya yang tak terbatas, pengetahuan diterima manusia dengan atau tanpa menguji kebenarannya. Pengetahuan diterima dan dimiliki manusia sepanjang dapat memuaskan dorongan ingin tahunya.

Dalam hukum perdata yang mana merupakan hasil berfikir manusia seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan dalam berbagai hal. Banyak Undang- Undang yang diubah atau dicabut karena tidak sesuai lagi. Sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan perundang-undangan serta dibutuhkan dan Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi. Disebut tidak berlaku bilamana terdapat Undang Undang yang bertentangan dapat diamandemenn oleh Anggota DPR dan dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi disebabkan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah: Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Hukum berkaitan erat dengan kesadaran seseorang to select and choose terhadap sejumlah obyek kepentingan yang ia ketahui hendak ia dahulukan (to be prejudiced infavour) atau ia akhirkan, setidaknya ada dua gatra yaitu gatra kognitif (sadar untuk tahu). Kedua adalah gatra efektif (sadar untuk membuat pilihan yang menyiratkan pemihakan).

Dalam legal awareness (kesadaran hukum), gatra kognitif merujuk pada pengetahuan seseorang tentang ada tidak aturan yang mengatur perbuatan yang sedang ia lakukan atau tengah menjadi perhatian utama, sedangkan gatra efektifnya merujuk ke pelibatan dirinya secara emosional ke suatu pihak tertentu, berdasarkan keyakinan bahwa apa yang ia ketahui itu merupakan sesuatu yang benar sehinga sudah seharusnya kalau ia turuti dan patuhi (atau merupakan ssuatu yang tidakbenar, jadi sudah seharusnya dilawan).
Aturan hukum sebagai perangkat ide dan dibahaskan secara hipotesis, menuntut untuk dikonkretkan dalam praktek kehidupan masyarakat (concretization).bagaimana keberadaan hukum dirasakan dalam kehidupan masyarakat, yaitu jika ada keadilan (justice) dalam tata hubungan sosial dalam masyarakat tersebut. Mengapa hukum harus ditaati (metanorm), karena demi eksistensi, kebebasan, dan ekuilibrium dalam hubungan antar individu dan antara individu dan masyarakatnya.

C. KESIMPULAN

Epistemologi merupakan cara kerja atau proses yang membicarakan masalah asal muasal,sumber,metode, struktur dan validitas kebenaran dalam usaha/kegiatan manusia untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hukum adalah sistem yang terpenting dalam rangkaian kekuasaan lembaga. Sedangkan hukum perdata merupakan peraturan yang mengatur hal-halyang sangat esensial bagi kebebasan individu, hak milik dan perikatan.

Subyek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban jadi mempunyai wewenang hukum sedangkan obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum.

Kebenaran ilmu adalah hasil usaha manusia berpikir dan menyelidiki tentang pengetahuan dan keilmuan menghasilkan kebenaran nisbi, yang selalu dapat berubah dan berkembang. Begitu pula dengan kebenaran hukum yang bersumber dari ilmu sejauh mana hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan perundangundangan serta dibutuhkan dan Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan., Hukum, Hakim, dan Masyarakat., Varia Peradilan tahun XXIV No. 280 : IKAHI, 2009
Hadari Nawawi, Power Point (Hand Out); Filsafat Ilmu (144 slide), Pontianak, 2010
Hadi Suyoto, Komitmen Hukum dan Kritik Legalisme bagi Hakim, Varia Peradilan No. 293 IKAHI, 2010
Rachmawati, Bahan Matrikulasi Hukum Perdata, Untan , 2010
Saptomo, Priyo., Power Point (Hand Out), Pengantar Ilmu Hukum , Pontianak : Untan, 2010
Surajiyo, filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2008
Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf", Disertasi UNDIP : Semarang, 2010
Tutik, Titik triwulan., Hukum Perdata dalam sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana ,2008.
Widjaya, Gunawan., Seri hukum Bisnis memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend recht) dalam Hukum Perdata, Jakarta : Raja Grafindo, 2006.

MENGGALI HUKUM ISLAM DALAM PANDANGAN ULAMA NU



Dikutip dari Buku Nuansa Fiqih Sosial oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

SEBAGAI jam'iyah sekaligus gerakan diniyah dan ijtima'iyah sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) meletakkan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai dasarnya. Ia menganut salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Alih mazhab secara total atau pun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) dimungkinkan terjadi, meskipun kenyataan sehari-hari para ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i.
Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk hukum dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak selalu melawan budaya konvensional- berpaling ke mazhab lain. Dalam struktur kepengurusannya, NU mempunyai lembaga Syuriyah yang bertugas antara lain menyelenggarakan forum bahtsul masail secara rutin. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam, yang bertalian dengan masail fiqhiyyah mau pun masalah ketauhidan dan bahkan tasawuf (thariqah). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi, termasuk para pengasuh pesantren.
Masalah-masalah yang dibahas pada umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat, diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi atau pun perorangan. Masalah itu diinventarisasi oleh Syuriyah lalu diseleksi berdasarkan skala prioritas pembahasannya. Kemacetan (mauquf) tidak jarang terjadi di dalam pembahasan masalah semacam itu. Jalan berikutnya adalah mengulang pembahasannya pada tingkat organisasi yang lebih tinggi, dari ranting ke cabang, dari cabang ke wilayah, dari wilayah ke pengurus besar (pusat), kemudian ke Munas (Musyawarah Nasional) dan terakhir kepada Muktarnar.
PENGERTIAN istinbath al-ahkam di kalangan NU bukan mengarnbil hukurn secara langsung dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha' -dalam hal ini Syafi'iyah- dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur'an dan al-Hadits) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath dalam batas mazhab di samping lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami 'ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.
Oleh karena itu kalimat istinbath di kalangan NU terutma dalam kerja bahtsul masail Syuriyah, tidak populer. Kalimat itu telah populerkan di kalangan ulama dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama Syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah melalui referensi (maraji') kutub al-fuqha'.
SIKAP dasar bermazhab telah menjadi pegangan NU sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari referensi dan maraji', berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen; ibadah, mu'amalah, munakahah, jinayat, qadla. Para ulama NU dan forum bahtsul masail mengarahkan pengambilan huukum pada aqwal al-mujtahidin yang mutlaq mau pun muntasib. Bila kebetulan mendapatkan qaul manshush (pendapat berdasar nash eksplisit), maka qaul itulah yang dipegangi. Namun kalau tidak, rnaka akan beralih pada qaul mukhoroj.
Bila terjadi khilaf, maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Sering juga ulama NU mengambil keputusan untuk sepakat dalam khilaf, akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajiyah (kebutahan), tahsiniyah (kebagusan) mau pun dlaruriyah (darurat).
Mazhab yang dianut oleh NU dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuai dengan mazhab yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, mazhab Syafi'i. Ini punya konsekuensi, para ulama NU dalam fatwa pribadinya mau pun dalam forum bahtsul masail, hampir dapat dipastikan selalu merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah. Kepustakan ulama NU pasti sarat dengan kitab- kitab Syafi'iyah, mulai dari yang paling kecil; Safinatus Sholah karangan KH. Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar, rnisalnya al-Um, al-Majmu' dan lain sebagainya.
Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka, kitab-kitab selain Syafi'iyah, kecuali pada akhir-akhir ini mulai ada koleksi kitab-kitab mazhab Hambali, Hanafi, dan Maliki bagi sebagian kecil ulama. Kecuali harganya belum terjangkau oleh sebagian besar ulama NU, kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia.
Timbul kesan dari kenyataan ini, bahwa NU hanya bermazhab fi al-aqwal tidak dalam manahij (metodologi). Padahal sebenarnya para ularna NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini tergambar dalam kepustakaan mereka, kurikulum pesantren-pesantren yang mereka asuh. Kitab-kitab seperti, waraqat, ghoyah al-Wushul, jam'u al-jawami', al-Mustasyfa, al-asybah wa al-Nadhair, qowaid Ibni Abdissalam, Tarikhu al-Tasyri', dan lain-lain, tidak hanya menjadi koleksi kepustakaan mereka, namun juga dibaca, diajarkan di beberapa pesantren.
Metodologi dalam hal ini digunakan untuk memperkuat pemahaman atas masail furu'iyah yang ada pada kitab-kitab fiqih, di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masail bi nadhoiriha, bukan untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyah.
Gagasan perlunya konsep tajdid muncul di kalangan NU belakangan ini, mengingat makin berkembangnya masalah dan peristiwa hukum yang ternyata belum terakomodasi oleh teks-teks kitab fiqih, di samping munculnya ide kontekstualisasi kitab kuning. Penyelenggaraan halaqah yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pesantren, sebagian untuk merespons gagasan itu. Kesepakatan telah dicapai, dengan menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masail, tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram, melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian-kajian kitab.
Disepakati juga dalam forum itu, perlunya melengkapi referensi mazhab selain Syafi'i dan perlunya disusun sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Mengenai konsep tajdid, PBNU sebelum Muktamar ke-28 di Yogyakarta telah membentuk tim khusus untuk merumuskannya. Tim ini diketuai sendiri oleh Rois Aam Kiai Achmad Siddiq (almarhum) dan saya sebagai wakilnya. Tim ini telah berhasil rnerumuskan "Konsep Tajdid" dalam Pandangan NU.  
FIQIH yang dipahami NU dalam pengertian terminologis, sebagai ilmu tentang hukum syari'ah (bukan i'tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil dalil tafsili, adalah fiqih yang diletakkan -oleh para perintisnya (mujtahidin)- pada dasar dasar pembentuknya; alQur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dalam pembentukannya, fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbab al-nuzul bagi ayat al-Qur'an dan asbab al-wurud bagi al-Sunnah. Namun konteks lingkungan seperti itu kurang diperhatikan di kalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap yang memperkuat pemahaman, karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitat furu' al-fiqih. Fungsi syarah, hasyiyah, taqriraat dan ta'liqaat dipandang pula sebagai pelengkap yang memperjelas pemahaman tersebut. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqaat itu sering dijumpai kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl) atas teks-teks matan yang dipelajari/dibahas, namun hal ini kurang mendapat kajian serius.
Pembahasan fiqih secara terpadu dan pengembangannya sangat lamban, bahkan kadang secara eksklusif dipahami, antara ilmu fiqih dengan ilrnu lain yang punya diferensiasi tersendiri, seolah-olah tidak ada hubungannya. Padahal para ulama penyusun dan pembentuk fiqih dahulu selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu di luar fiqih ke dalam fiqih untuk menentukan kesimpulan hukum bagi suatu masalah. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadan dan Syawal, ma'rifatu al-qiblah dan al-waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man'u al-hamli/ibtho'u al-hamli) dalam bab nikah.
Namun sekarang halaqah dan muktamar telah merekomendasikan, agar pada setiap masalah yang akan dibahas Syuriyah diberi tashawwur al-masa'il (abstraksi), sehingga dapat jelas masalahnya. Kepastian hukum bisa diputuskan secara terpadu melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin-disiplin ilmu lain ke dalam wilayah fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum.  
IJTIHAD di kalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk istinbath (menggali) hukum syar'i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili (al-Qur'an dan Sunnah). Ini adalah pengertian ijtihad muthlaq, pelakunya disebut mujtahid muthlaq. Meskipun dipertentangkan, apakah sekarang ini boleh melakukan ijtihad muthlaq atau tidak, namun para ulama nampaknya sepakat, perlu ada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu bagi mujtahid muthlaq.
Di bawah ini, ada tingkat ijtihad fi al-mahab, pelakunya disebut mujtahid fi al-mazhab, lalu di bawahnya lagi ada ijtihad fatwa, pelakunya disebut mujtahid fatwa. Mujtahid tingkat kedua itu, ialah mereka yang mampu meng-istinbath hukum dari kaidah-kaidah imam mazhab (mujtahid muthlaq) yang diikuti. Misalnya Imam al-Muzani, pengikut mazhab Syafi'i. Sedangkan mujtahid fatwa adalah mujtahid yang mempunyai kemampuan mentarjih antara dua qaul yang di-muthlaq-kan oleh Imam Mujtahid yang dianutnya. Misalnya Imam al-Nawawi dan Imam al-Rofi'i, penganut Imarn Syafi'i.
Di dalam kitab al-Fawaid al-Makkiyah diuraikan, tingkatan ulama fiqih itu ada enam. Pertama mujtahid mustaqil, setingkat al-Syafi'i. Kedua mujtahid muntasib, setingkat Imam al-Muzani. Ketiga ashhabu al-wujuh, setingkat Imam al-Qaffal. Keempat mujtahid fatwa, setingkat Imam al-Nawawi dan Imam al-Rofi'i. Kelima pemikir yang mampu mentarjih antar dua pendapat syaikhoni (dua Imam) yang berbeda, misalnya Imam al-Asnawi. Keenam hamalatu al-fiqh, yaitu ulama-ulama yang menguasai aqwal (pendapat-pendapat) para Imam.
Taqlid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi'iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya. Tentang status hukumnya, taqlid di bidang fiqih (bukan aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembahasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan mengutip kata Imam Ibnu al-Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab al-Sunan saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath dan keahlian berfikir dan menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah: fas'alu ahla al-dzikri in kuntum laa ta'lamun, yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.
Ibnu Khaldun juga menceritakan, para Shahabat tidak semuanya ahli fatwa. Begitu pula para Tabi'in. Ini berarti sebagian para Shahabat dan Tabi'in yang paling banyak jumlahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli fatwa. Tidak ada satupun dari sahabat dan tabi'in mengingkari taqlid. Irnam al-Ghozali dalam kitabnya al-Mustashfa mengatakan, para Shahabat telah sepakat (ijma') mengenai keharusan bertaqlid bagi orang awam.
Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang telah dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin. Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan rnungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd).
Kitab yang besar diringkas menjadi mukhtashor, nadhom dan matan. Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyah menjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, Syeikh Mahfudh al-Tarmasi (dari Termas Jawa Timur) menulis hasyiyah kitab Mauhibah empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak).
Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah. Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah; bi al-sama' kemudian bi al-qira'ah dan lalu bi al-ijazah, maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).
ISTILAH talfiq muncul dalarn pembahasan, apakah ahli taqlid harus memilih satu mazhab tertentu dari sekian banyak mazhab para mujtahidin? Kalau harus demikian, apakah dibolehkan pindah mazhab secara keselurahan atau hanya dalam masalah tertentu saja? Ataukah tidak harus demikian, sehingga mereka bebas memilih qaul tertentu saja dari sekian mazhab yang standar dan bebas berpindah-pindah mazhab sesuai dengan kebutahan?
Beberapa pertanyaan di atas memang telah menjadi perdebatan Ulama. Imam Zakaria Al-Anshary dalam kitabnya Lubbu al-Ushul mengatakan, yang paling shahih adalah, muqallid wajib menetapi salah satu mazhab tertentu yang diyakini lebih rajih daripada yang lain atau sama. Namun begitu, mereka diperbolehkan pindah ke mazhab lain. Dalam hal ini para ulama mensyaratkan beberapa hal yang antara lain, tidak diperkenankan bersikap talfiq dengan cara mengambil yang paling ringan (tatabbu al-rukhosh) dan beberapa aqwal al-madzahib (pendapat mazhab).
Talfiq secara harfiyah dapat diartikan melipatkan dua sisi sesuatu menjadi satu. Namun talfiq dalam hal taqlid ini, berarti menyatukan dua qaul dari dua mazhab yang berbeda ke dalam problema tertentu, sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat (qaul) bagi dua mazhab tersebut.
Misalnya dalam hal berwudlu; Imam Syafi'i tidak mewajibkan menggosokan anggota badan yang dibasuh, sedangkan Imam Malik mewajibkannya. Dalam hal meraba farji Imam Syafi'i berpendapat, hal itu membatalkan wudlu secara muthlaq, sedangkan Imam Malik berpendapat, tidak membatalkan bila tanpa syahwat. Bila seseorang berwudlu dan tidak menggosok anggota badan karena taqlid kepada Imam Syafi'i namun kemudian meraba farji tanpa ada rasa syahwat, maka batallah wudlunya. Bila ia kemudian melakukan shalat, maka shalatnya juga batal, dengan kesepakatan kedua Imam ini. Karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- rnaka wudlunya telah batal menurut Syafi'i. Begitu juga ketika ia tidak menggosok anggota badan pada wakt wudlu, maka wudlunya tidak sah menurut Imam Malik.
RUMUSAN hukum hasil produk bahtsul masail Syuriyah NU, bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama -meskipun bukan peserta forum Syuriyah- menemukan nash/qaul atau 'ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama.
Tidak ada perbedaan, antara pendapat ulama senior maupun yunior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan substansi masalah dan latar belakangnya.
Pemilihan dalam tarjih antara dua qaul dilakukan menurut hasil pentarjihan dari para ahli tarjih yang diuraikan dengan rumus-rumus yang baku dalam isthilahu al-fuqha' al-Syafi'iyah. Misalnya al-Adhar, al-Masyhur, al-Ashahh, al-Shahih, al-Aujah dan lain sebagainya dari shighat tarjih. Ini berarti bahwa forum Syuriyah tidak melakukan tarjih secara langsung, tetapi hanya kadang-kadang menentukan pilihan tertentu sebagai sikap atas dasar perimbangan kebutuhan.
Hasil keputusan bahtsul masail Syuriyah NU itu, oleh cabang-cabang dan ranting disebar luaskan melalui kelompok-kelornpok pengajian rutin, majelis Jumat dan kemudian dipedomani, dijadikan rujukan oleh warga NU khususnya, serta masyarakat pada umunya. Para kiai/ulama NU dalam memberikan petunjuk hukum kepada rnasyarakatnya juga merujuk kepada keputusan forum tersebut.
Hal ini bukan karena keputusan itu mengikat warga NU, namun karena kepercayann dan rasa mantap warga NU dan masyarakat terhadap produk Syuriyah NU. Meskipun masyarakat atau warga NU tahu, proses pengambilan keputusan dalam forum itu terdapat perdebatan yang sengit misalnya, namun bila keputusan telah diambil, masyarakat dan warga NU mengikuti keputusan itu tanpa ada rasa keterikatan-paksa, tetapi justru dengan kesadaran yang mantap, yang mungkin dipengaruhi oleh budaya paternalistik.
Sebagai kesimpulan dari pembahasan mengenai istinbath al-ahkam dalam kerja babtsul masail Syuriyah NU, dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Kerja bahtsul masail NU mengambil hukum yang manshush maupun mukhorroj dari kitab-kitab fiqih mazhab, bukan langsung dari sumber al-Qur'an dan al-Sunnah. Ini sesuai dengan sikap yang dipilih yaitu bermazhab, yang berarti bertaqlid dan tidak berijtihad muthlaq, ijtihad mazhab maupun ijtihad fatwa.
  2. Metodologi ushul al-fiqh dan qawa'id al-fiqhiyah dalam bahtsul masail, digunakan sebagai penguat atas keputusan yang diambil, apalagi bila diperlukan tandhir dan untuk mengembangkan wawasan fiqih.
  3. Ijtihad, taqlid dan talfiq dipahami oleh NU sesuai dengan ketentuan dan pengertian para ulama Syafi'iyah.
  4. Referensi para ulama NU sebagian besar adalah kitab-kitab Syafi'iyah.
  5. Keputusan bahtsul masail Syuriyah NU tidak mengikat secara organisatoris bagi warganya.


Syariat dan Fiqih

SYARI'AT Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama dalam ajaran fiqih (fiqih sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang di dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau pun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terilkat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalarn bentuk mu'asyarah (pergaulan) mau pun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen rnunakahah. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad, dan qadla'.
Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalam syari'at Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklifat untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi atau sa'adatud darain sebagai tujuan hidupnya.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan fiqih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqashid al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Is]am mempunyai sasaran yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti, bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan dimaksud.
dikutip dari buku Nuansa Fiqih Sosial oleh KH. Sahal Mahfud


Kisah Imam Syafii dan Para Penghasudnya

Dihikayatkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keung-gulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam ben-tuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid. Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya. Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberi-tahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lon-taran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti berikut: 

Para Pendengki (Selanjutnya disebut: PP) :

 Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang menyembelih seekor kambing di rumah-nya, kemudian dia keluar sebentar untuk suatu keperluan lalu kembali lagi seraya berkata kepada keluarganya, “Makanlah oleh kalian kambing ini karena ia sudah haram bagiku.’ Lalu dijawab oleh keluarganya pula, “Ia juga haram bagi kami.” (bagaimana hal ini bisa ter-jadi.?-red.,)

 Imam asy-Syafi’i (Selanjutnya disebut: IS):

 Sesungguhnya orang ini dulunya seorang yang musyrik, menyembelih kambing atas nama berhala, lalu keluar dari rumahnya untuk se-bagian keperluan lalu diberi hidayah oleh Allah sehingga masuk Islam, maka kambing itu pun jadi haram baginya. Dan ketika mengetahui ia masuk Islam, keluarganya pun masuk Islam se-hingga kambing itu juga haram bagi mereka.

PERTANYAAN ke –2 PP:

Ada dua orang Muslim yang berakal mi-num khamar, lalu salah satunya diganjar hu-kum Hadd (dicambuk 80 kali-red.,) tetapi yang satunya tidak diapa-apakan. (kenapa bisa demikian.?-red.,)

 IS: Sesungguhnya salah seorang di antara mereka berdua ini sudah baligh dan yang satunya lagi masih bocah (belum baligh).

PERTANYAAN-3 PP: 

Ada lima orang menzinahi seorang wanita, lalu orang pertama divonis bunuh, orang kedua dirajam (dilempar dengan batu hingga mati-red.,), orang ketiga dikenai hukum hadd (cambuk seratus kali-red.,), orang keempat hanya dikenai setengah hukum hadd sedangkan orang kelima dibebaskan (tidak dikenai apa-apa). (Kenapa bisa demikian.?-red.,)

 IS: Karena orang pertama tersebut telah menghalalkan zina sehingga divonis murtad dan wajib dibunuh, orang kedua adalah seo-rang yang Muhshan (sudah menikah), orang ketiga adalah seorang yang Ghairu Muhshan (belum menikah), orang keempat adalah seo-rang budak sedangkan orang kelima adalah seorang yang gila.

PERTANYAAN-4 PP: 

Seorang laki-laki mengerjakan shalat, lalu tatkala memberi salam ke kanan isterinya menjadi ditalak, tatkala memberi salam ke kiri batallah shalatnya serta tatkala melihat ke langit, dia malah wajib membayar 1000 dirham. (kenapa bisa begitu.?-red.,)

 IS: Tatkala memberi salam ke kanan, ia melihat seseorang yang telah ia nikahi isterinya saat dia menghilang (dalam pencarian), maka ketika ia melihatnya (suami lama ister-inya tersebut) sudah hadir, ditalaklah isterinya tersebut dan tatkala menoleh ke arah kirinya, dia melihat ada najis sehingga batal-lah shalatnya, lalu ketika menengadah ke langit, dia melihat bulan sabit telah nampak di sana sementara ia punya hutang sebesar 1000 dirham yang harus dibayarnya pada awal bulan begitu nampak bulan sabit tersebut (karena dia harus membayar hutang tersebut pada awal bulan hijriah-red.,).

PERTANYAAN-5 PP: 

Ada seorang imam melakukan shalat bersama empat orang jama’ah di masjid, lalu masuklah seorang laki-laki dan ikut me-lakukan shalat di samping kanan sang imam. Tatkala imam memberi salam ke kanan dan melihat orang tersebut, maka ia wajib dieksekusi mati sedangkan empat orang yang bersamanya harus dihukum cambuk sedangkan masjid tersebut wajib dihancurkan, (bagaimana bisa demikian.?-red.,)

IS: Sesungguhnya lelaki yang datang itu du-lunya memiliki seorang isteri, lalu dia beper-gian dan meninggalkannya (mantan ister-inya tersebut) di rumah saudaranya lantas si imam ini membunuh saudaranya tersebut dan mengklaim bahwa perempuan itu adalah isteri korban yang dikawininya (padahal ia adalah saudara perempuan si korban-red.,) lantas ke-empat orang yang melakukan shalat bersamanya itu bersaksi atas hal itu (bersaksi dusta-red.,), sedangkan masjid tersebut dulunya adalah rumah si korban (saudara laki-laki si wanita yang jadi isterinya-red.,) lalu dijadikan oleh si imam sebagai masjid (sehingga wajib dihancurkan-red.,).

PERTANYAAN- 6 PP: 

Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang memiliki budak namun melarikan diri, lalu orang ini berkata, “Dia bebas(merdeka) jika aku makan, hingga aku mene-mukannya (alias: aku tidak akan makan hingga bisa menemukannya dan bila aku tern-yata makan sebelum menemukannya, maka status budak tersebut adalah bebas/merdeka-red.,), bagaimana jalan keluar baginya dari ucapannya tersebut?

 IS: Ia hibahkan saja budak tersebut kepada se-bagian anak-anaknya kemudian dia makan, kemudian setelah itu ia menarik kembali hi-bahnya tersebut.

 PERTANYAAN- 7 PP: 

Ada dua orang wanita bertemu dengan dua orang anak laki-laki, lalu kedua wanita tersebut berkata, “Selamat datang wahai kedua anak kami, kedua suami kami dan kedua anak dari kedua suami kami.” (bagaimana gambarannya?-red.,)

 IS: Sesungguhnya kedua anak laki-laki itu adalah dua anak dari masing-masing wanita tersebut, lalu masing-masing wanita itu meni-kah dengan anak laki-laki temannya (kawin si-lang-red.,), maka jadilah kedua anak laki-laki itu sebagai kedua anak mereka berdua, kedua suami mereka berdua dan kedua anak dari kedua suami mereka.

PERTANYAAN- 8 PP: 

Seorang laki-laki mengambil sebuah wa-dah air untuk minum, lalu dia hanya bisa meminum separuhnya yang halal baginya se-dangkan sisanya menjadi haram baginya, (bagaimana bisa terjadi.?-red.,)

iIS: Sesungguhnya laki-laki itu telah meminum separuh air di wadah, lalu ketika meminum separuhnya lagi ia mengalami ‘mimisan’ se-hingga darah menetes ke wadah itu sehingga membuat darah bercampur dengan air. Maka, jadilah ia (sisanya tersebut) haram baginya.

PERTANYAAN ke- 9 PP: 

Ada seorang laki-laki memberi kantong yang terisi penuh dan telah disegel kepada isterinya, lalu ia meminta kepada isterinya tersebut untuk mengosongkan isinya dengan syarat tidak membuka, merobek, menghan-curkan segel atau membakarnya sebab bila ia melakukan salah satu dari hal tersebut, maka ia ditalak. (apa yang harus dilakukan sang is-teri.?-red.,)

 IS: Sesungguhya kantong itu terisi penuh oleh gula atau garam sehingga apa yang harus dila-kukan wanita hanyalah mencelupkannya ke dalam air hingga ia mencair sendiri.

PERTANYAAN ke- 10 PP: 

Seorang laki-laki dan wanita melihat dua orang anak laki-laki di jalan, lalu keduanya mencium kedua anak laki-laki tersebut. Dan tatkala keduanya ditanyai mengenai tindakan mereka itu, si laki-laki itu menjawab, “Ayahku adalah kakek dari kedua anak laki-laki itu dan saudaraku adalah paman keduanya sedang-kan isteriku adalah isteri ayahnya.” Sedang-kan si wanita menjawab, “Ibuku adalah nenek keduanya dan saudara perempuanku adalah bibinya (dari pihak ibu).” (siapa sebenarnya kedua anak itu bagi kedua orang tersebut.?-red.,)

 IS: Sesungguhnya laki-laki itu tak lain adalah ayah kedua anak laki-laki itu sedangkan wanita itu adalah ibu mereka berdua.

 PERTANYAAN- 11 PP: 

Ada dua orang laki-laki berada di atas loteng rumah, lalu salah seorang dari mereka jatuh dan tewas. Sebagai konsekuensinya, is-teri orang yang tewas tersebut menjadi haram bagi temannya yang satu lagi. (bagaimana ini bisa terjadi.?-red.

IS: Sesungguhnya laki-laki yang jatuh lalu tewas itu adalah orang (majikan/tuan) yang telah menikahkan putrinya dengan budaknya yang bersamanya di atas loteng tersebut (yang se-lamat), maka tatkala ia tewas, putrinya tersebut mewarisinya sehingga menjadi pemilik bu-dak yang tidak lain suaminya tersebut, maka jadilah ia (putri majikannya tersebut) haram baginya. 

Sampai di sini, sang khalifah Harun ar-Rasyid yang menghadiri perdebatan tersebut tidak mampu menyembunyikan rasa kagumnya terhadap kecerdasan Imam asy-Syafi’i, spontanitasnya, kebagusan pemahamannya dan keindahan ilmunya seraya berkata,:

 “Maha suci Allah atas karunianya kepada Bani ‘Abdi Manaf; engkau telah menjelaskan dengan baik dan menafsirkan dengan begitu menawan serta mengungkapkan dengan begitu fasih.” 

Maka berkatalah Imam asy-Syafi’i, :

 “Semoga Allah memanjangkan umur Amirul Mukminin. Aku mau mengajukan kepada para ulama tersebut satu pertanyaan saja yang bila mereka dapat menjawabnya, maka alhamdulillah sedang bila tidak bisa, aku berharap Amirul Mukminin dapat mengekang keusilan mereka terhadapku.”

 “Ya, itu hakmu, silahkan ajukan pertanyaanmu kepada mereka, wahai asy-Syafi’i,?” kata sang khalifah 

Imam Syafii mengajukan pertanyaan kepada mereka :

“Ada seorang laki-laki yang meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak 600 dirham namun saudara wanitanya hanya mendapatkan bagian 1 dirham saja dari wari-san tersebut, bagaimana cara membagikan warisan tersebut,?” 

Maka, masing-masing dari para ulama terse-but saling memandang satu sama lain begitu lama namun tidak seorang pun dari mereka yang mampu menjawab satu pertanyaan tersebut sehingga tampak keringat membanjiri jidat mereka.

 Dan setelah begitu lama mereka hanya terdiam, berkatalah sang khalifah, “Ayo, katakan kepada mereka apa jawabannya.!”

“Orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris; dua anak perempuan, seorang ibu, seorang isteri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuannya itu mendapatkan dua pertiganya, yaitu 400 dirham; si ibu mendapatkan seperenam, yaitu 100 dirham; isteri mendapatkan seperdelapan, yaitu 75 dirham; dua belas saudara laki-lakinya mendapatkan 24 dirham (masing-masing 2 dirham) sehingga sisanya yang satu dirham lagi itu menjadi jatah saudara perem-puannya tersebut,” jawab Imam asy-Syafi’i setelah orang-orang yang ingin men-jatuhkannya di hadapan khalifah yang amat mencintainya itu berbuat nekad terhadapnya. Dan jawaban Imam asy-Syafi’i tersebut mem-buat sang khalifah tersenyum seraya berkata, “Semoga Allah memperbanyak pada keluarga besarku orang sepertimu.” Lalu beliau memberi hadiah kepada Imam asy-Syafi’i sebanyak 2000 dirham. Hadiah itu diterimanya, lalu dibagi-bagikannya kepada para pelayan istana dan para pengawal.

________________ (SUMBER: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fi Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.3-10) - sebagaimana disalin oleh As-Sofwah.or.id

Pembatalan Jual Beli Tanah Akibat Harta Bersama


Analisis Yuridis dalam Perkara Kasasi Nomor : 2699 K/Pdt/1996 tentang Pembatalan Kesepakatan Jual Beli Tanah Akibat Harta Bersama
oleh Mukhrom, S.HI, M.H
I.                   Pendahuluan
Kasus pembatalan kesepakatan penjualan tanah atas Harta bersama disertai adanya persoalan wanprestasi (ingkar janji) dalam perkara Nomor : 2699 K/Pdt/1996 antara KESUMA WIJAYA  alias  ACI, sebagai Pemohon  kasasi  I  dahulu  Tergugat  I  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi I-Terbanding, WENTY  PUSPA  KWANNI,  Pemohon kasasi II  dahulu  Tergugat  II  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi II-Terbanding juga Pembanding Melawan ARIFIN,  sebagai Termohon  kasasi  dahulu  Penggugat  dalam  Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi Pembanding sangat menarik untuk dikaji.
Penggugat  Asli sebagai  pembeli  tanah  seluas  3,9  Ha telah  sepakat  secara  lisan  dengan  Tergugat  selaku  penjual  dengan  harga Rp. 2.680.000.000,- (dua  milyar  enam ratus delapan puluh juta ru-piah), Penggugat asli telah memberi uang panjar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), Penggugat  asli  telah  menghitung  keuntungan  dari  tanah sengketa  yang  digunakan  untuk  proyek  perumahan.    Dengan  sebanyak  175  buah  dengan  harta  Rp.  85.000.000,- per  unit  dan  jika habis  terjual  selama  4  tahun,  Penggugat  mendapat  keuntungan sebesar Rp. 3.211.750.000,- (tiga milyar dua ratus sebelas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), tanpa  dasar  Tergugat  I  membatalkan  jual  beli  dan  men-gembalikan  uang  panjar  dengan  demikian  Tergugat  I  ingkar  janji dan melawan hukum yang merugikan Penggugat,   Jumlah  kerugian  Penggugat  sebesar  Rp.  80.000.000,-  (delapan puluh  juta  rupiah)  dan  bunga  2%  sejak  tanggal  16  Februari sampai lunas ditambah  keuntungan  yang diharapkan sebesar Rp.  3.211.750.000,- (tiga  milyar  dua  ratus  sebelas  juta  tujuh  ratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung dijelaskan, Keberatan  kasasi  dari  Pemohon  kasasi  I  dapat  dibenarkan, Pengadilan  Tinggi  salah  menerapkan  hukum,  sebab  perjanjian  lisan baru merupakan Voor Overeenskomst yaitu perjanjian permulaan yang akan  dibuat  di  Notaris  karena  masih  harus  ditindak  lanjuti  dan bagi  para  pihak  yang  membuatnya  sehingga  tidak  mempunyai  akibat hukum. Karena  tanah  tersebut  merupakan  harta  bersama  antara  Tergugat  I  dan  II  selaku  suami  isteri,  maka  menurut  Pasal  36  (1)  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan dari suami isteri. Karena  perjanjian  permulaan  yang  dilakukan  secara  lisan  tersebut  belum  mendapat  persetujuan  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum. Pertimbangan  Pengadilan  Tinggi  tidak  dapat  dibenarkan  yang berpendapat  bahwa  suami  dapat  melakukan  perbuatan  hukum  yang menyangkut harta kekayaan bersama suami isteri karena dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian harta terpisah.  Sejalan  dengan  pertimbangan  mengenai  keberatan  Pemohon kasasi  I,  karena  perjanjian  baru  merupakan  perjanjian  permulaan, maka  tidak  mempunyai  kekuatan  mengingat  bagi  para  pihak  yang membuatnya. Alasan  Pemohon  kasasi  II  dapat  dibenarkan,  sebab tindakan  suami  atau  isteri  atas  harta  bersama  harus  dengan  persetujuan suami isteri. Karena  belum  ada  persetujuan  isteri  maka  tindakan  Tergugat  I  membuat perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.
Dari uraian diatas,  Harta bersama (gono gini) adalah harta yang didapat suami isteri sepanjang perkawinannya dari sejak keduanya melangsungkan perkawinan sampai terpisah (disebabkan salah satunya meninggal dunia atau perceraian). Suami tidak bisa bertindak sendiri atas hartanya tanpa persetujuan isteri karena harta tersebut merupakan harta bersama, sehingga seorang suami yang menjual tanahnya walaupun telah melakukan kesepakatan jual beli tanah dengan isteri dengan pembeli tetap tidak sah secara hukum sehinggga dianggap ingkar janji  (wanprestasi) oleh pembeli.

II.                Perumusan Masalah
Tindakan pembatalan sepihak oleh Penjual terhadap pembeli dalam masalah jual beli tanah dengan alasan kesepakatan jual beli baru kesepakatan secara lisan dan harta tersebut merupakan harta bersama (harta yang diperoleh selama perkawinan) sehingga diperlukan persetujuan isteri atau suami. Jual beli tidak sah secara hukum bila hanya sepihak yang melakukannya. Dan juga sejauh mana penjual dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi (ingkar janji) dalam tindakannya. Dari hal-hal tersebut didapat perumusan masalah sebagai berikut?
1.      Apakah dibenarkan secara hukum tindakan pembatalan kesepakatan (perjanjian) jual beli tanah atas harta bersama dengan alasan tanpa persetujuan isteri atau suami serta kaitannya dengan wanprestasi?
2.      Bagaimana analisis yuridis perkara No. Perkara Nomor : 2699 K/Pdt/1996?

III.             Tinjauan pustaka atas tanah,  perjanjian, wanprestasi dan harta bersama
Dalam  pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam.
Sedangkan dalam hukum positif kita, tanah itu dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di dalam pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (4)). Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa “Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang”.[1]
Dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara. Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouseproperty is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do without it”.[2] Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak melepaskan haknya ( peralihan hak). Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke mengenai hak milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural right and that the purpose of Government is to protect and preserve natural property right.[3] Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Implementasi dari jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah ( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam Undang Undang Pokok Agraria.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik meninggal dunia. Perolehan hak pada dasarnya ada dua : yaitu peralihan hak dan perolehan hak baru. Peralihan hak  berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan atau bangunan tersebut sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya beralih kepada subjek hukum A ke subjek hukum ke B.  Sedangkan perolehan hak baru  biasanya berasal dari tanah negara kemudian diperoleh subjek pajak. Atau konversi hak, contohnya, dari hak adat menjadi hak milik.[4]
a. Peralihan Hak
Peralihan hak dapat terjadi pada  peristiwa :
1.                  Jual beli
2.                  tukar-menukar
3.                  hibah
4.                  hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan epada orang pribadi  atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5.                  Waris
6.                  Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitupengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyer taan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut
7.                  pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
8.                  Penunjukan  pembeli  dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang  sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang
9.                  Pelaksanaan  putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak  dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukandalam putusan hakim tersebut;
10.              Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan  usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
11.              Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mend irikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
12.              Pemekaran usaha, yaitu  pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha  yang lama
13.              Hadiah yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau  bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian Hak Baru  
Pemberian hak baru dapat terjadi pada peristiwa :
1.      kelanjutan  pelepasan hak,  yaitu pemberian hak baru kepadaorang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2.      Di luar pelepasan hak, yaitu  pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi  atau badan hukum dari Negara atau daripemegang hak milik menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam jual beli tanah harus adanya kesepakatan atau perjanjian, Suatu perjanjian bisa dikatakan sah dan berlaku mengikat para pihak yang membuat perjanjian bila perjanjian itu sudah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain:
1.   Kata sepakat yang membuat perjanjian
2.   Kecakapan pihak-pihak yang melakukan perjanjian
3.   Obyek perjanjian itu harus jelas
4.   Perjanjian itu dibuat atas dasar suatu sebab yang  dibolehkan.
Perjanjian mempunyai unsur persetujuan, persesuaian kehendak para pihak, ada kewajiban para pihak secara timbal balik, dibuat secara tertulis sebagai alat bukti.
Asas-asas/prinsip-prinsip yang mana merupakan pondasi, tiang atau pilar dari pembuatan perjanjian, yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak (Sistem Terbuka)
Sistem terbuka artinya para pihak dalam perjanjian bebas mengemukakan kehendak, mengatur hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUH.Perdata. menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata "semua" menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum.
b. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)
Artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak tercapainya kata sepakat, meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang dibuat itu dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan, yang disebut akte.
Namun perlu dipertimbangkan, bahwa sebagian masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya perjanjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Di samping itu dari segi pembuktian perjanjian lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.
c. Asas Kekuatan Mengikat
Artinya perjanjian yang dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya perjanjian) mengikat para pihak untuk ditaati (Pasal 1338 ayat 1). Perjanjian tersebut hanya dapat dicabut atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat 2)
Menurut Indrareni Gandadinata yang mengutip pendapat Rutten dalam buku karangan Purwahid Patrik, azas-azas Hukum Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada 3 (tiga), yaitu :
1.      Azas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
2.      Azas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.
3.      Azas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.[5]

Sementara itu Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “ performance ” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term ” dan “condition ” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa :
(1)  Memberikan sesuatu;
(2)  Berbuat sesuatu;
(3)  Tidak berbuat sesuatu.
Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi ( default  atau  non fulfiment  ataupun yang disebut juga dengan istilah  breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
(1)  Kesengajaan; 
(2)  Kelalaian; 
(3)  Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).[6]
Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu . Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure , yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).
Berbeda dengan hal tersebut diatas, bilamana perjanjian hanya sebatas lisan di depan notaries dalam artian kesepakatan tertulis maka dalam yurisprudensi putusan Kasasi  Mahkamah Agung No. 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal putusan   18 September 1998 dengan susunan Majelis  J. DJOHANSYAH, SH.,  H. TOTON SUPRAPTO, SH dan Ny. ASMA SAMIK IBRAHIM, SH menghasilkan kaidah baru dalam hukum.
“Perjanjian  lisan,  baru  merupakan  perjanjian  permulaan  yangakan  ditindak  lanjuti  dan  belum  dibuat  di  depan  Notaris,  belum mempunyai  kekuatan  mengikat  bagi  para  pihak  yang  membuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum.”   
Adapun mengenai harta bersama sebagaimana dalam Putusan Kasasi No. 2691 PK/Pdt/1996, Penjelasan mengenai Harta Bersama ditegaskan Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974.
Bab VII
Harta Benda dalam Perkawinan
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pula mengenai harta bersama yaitu :
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri.

Pasal 86
1.      Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan.
2.      Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai sepenuhnya olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.[7]
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.

IV.             Analisis yuridis perkara terhadap putusan Perkara Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor : 2699 K/Pdt/1996
a.      Latar Belakang Masalah
Mahkamah Agung RI dalam putusan Kasasi Nomor : 2699 K/Pdt/1996 telah menjatuhkan putusan dengan Amar Putusan sebagai berikut :
-        Mengabulkan  permohonan  Kasasi  dari  Pemohon  kasasi  I  : KESUMA  WIJAYA  dan  Pemohon  kasasi  II  :  WENTY  PUSPA KWANNI ;
-        Membatalkan  putusan  Pengadilan  Tinggi  Medan  tanggal  14  No-vember  1995  No.  86/Pdt/1995/PT.Mdn.  yo  putusan  Pengadilan Negeri Medan tanggal 25 Oktober 1994 No. 87/Pdt.G/1994/PN.Mdn ;
 Mengadili Sendiri :
 Dalam Konpensi :
Tentang eksepsi Tergugat I :
  Menyatakan eksepsi Tergugat I tidak dapat diterima ;
Tentang eksepsi Tergugat II :
  Menyatakan eksepsi Tergugat II tidak dapat diterima ;
Dalam Pokok Perkara :
-        Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
-        Menyatakan  Sita  Jaminan  yang  dilakukan  Pengadilan  Negeri  Me-dan  tanggal  24  Maret  1994  No.  87/Pdt.G/1994/PN.Mdn  jo  Berita Acara  Sita  jaminan  tanggal  24  Maret  1994  No. 87/Pdt.G/1994/PN.Mdn. tidak sah dan tidak berharga ;
-        Memerintahkan  Pengadilan  Negeri  Medan  untuk  mengangkat  Sita Jaminan tersebut ;
 Dalam Rekonpensi :
Gugatan  Rekonpensi  Penggugat  dalam  Rekonpensi/Tergugat  I dalam Konpensi :
-        Menyatakan gugatan Rekonpensi tidak dapat diterima ;
Gugatan  Rekonpensi  Penggugat  dalam  Rekonpensi/Tergugat  II dalam Konpensi :
Tentang eksepsi :
-        Menyatakan  eksepsi  Tergugat  dalam  Rekonpensi/Penggugat  dalam Konpensi tidak dapat diterima ;
 Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
-        Menghukum  Penggugat  dalam  Konpensi/Tergugat  dalam  Rekon-pensi  dan  Penggugat dalam  Rekonpensi/Tergugat  Konpensi  untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ditetapkan Rp. 50.000,-
Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut dilatarbelakangi dengan adanya Kasus penjualan tanah atas hasil perolehan bersama suami isteri atau disebut juga Harta bersama disertai adanya persoalan wanprestasi (ingkar janji) dalam perkara No. Nomor : 2699 K/Pdt/1996 antara KESUMA WIJAYA  alias  ACI, sebagai Pemohon  kasasi  I  dahulu  Tergugat  I  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi I-Terbanding, WENTY  PUSPA  KWANNI,  Pemohon kasasi II  dahulu  Tergugat  II  dalam  Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi II-Terbanding juga Pembanding Melawan ARIFIN,  sebagai Termohon  kasasi  dahulu  Penggugat  dalam  Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi Pembanding.
Penggugat  Asli sebagai  pembeli  tanah  seluas  3,9  Ha telah  sepakat  secara  lisan  dengan  Tergugat  selaku  penjual  dengan  harga Rp. 2.680.000.000,- (dua  milyar  enam ratus delapan puluh juta rupiah), Penggugat asli telah memberi uang panjar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), Penggugat  asli  telah  menghitung  keuntungan  dari  tanah sengketa  yang  digunakan  untuk  proyek  perumahan.    Dengan  sebanyak  175  buah  dengan  harta  Rp.  85.000.000,- per  unit  dan  jika habis  terjual  selama  4  tahun,  Penggugat  mendapat  keuntungan sebesar Rp. 3.211.750.000,- (tiga milyar dua ratus sebelas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), tanpa  dasar  Tergugat  I  membatalkan  jual  beli  dan  men-gembalikan  uang  panjar  dengan  demikian  Tergugat  I  ingkar  janji dan melawan hukum yang merugikan Penggugat,   Jumlah  kerugian  Penggugat  sebesar  Rp.  80.000.000,-  (delapan puluh  juta  rupiah)  dan  bunga  2%  sejak  tanggal  16  Februari sampai lunas ditambah  keuntungan  yang diharapkan sebesar Rp.  3.211.750.000,- (tiga  milyar  dua  ratus  sebelas  juta  tujuh  ratus lima puluh ribu rupiah).
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung, Keberatan  kasasi  dari  Pemohon  kasasi  I  dapat  dibenarkan, Pengadilan  Tinggi  salah  menerapkan  hukum,  sebab  perjanjian  lisan baru merupakan Voor Overeenskomst yaitu perjanjian permulaan yang akan  dibuat  di  Notaris   karena  masih  harus  ditindak  lanjuti  dan bagi  para  pihak  yang  membuatnya  sehingga  tidak  mempunyai  akibat hukum.
  Karena  tanah  tersebut  merupakan  harta  bersama  antara  Tergugat  I  dan  II  selaku  suami  isteri,  maka  menurut  Pasal  36  (1)  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan dari suami isteri.   Karena  perjanjian  permulaan  yang  dilakukan  secara  lisan  tersebut  belum  mendapat  persetujuan  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum.
Pertimbangan  Pengadilan  Tinggi  tidak  dapat  dibenarkan  yang berpendapat  bahwa  suami  dapat  melakukan  perbuatan  hukum  yang menyangkut harta kekayaan bersama suami isteri karena dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian harta terpisah. Sejalan  dengan  pertimbangan  mengenai  keberatan  Pemohon kasasi  I,  karena  perjanjian  baru  merupakan  perjanjian  permulaan, maka  tidak  mempunyai  kekuatan  mengingat  bagi  para  pihak  yang membuatnya.    Alasan  Pemohon  kasasi  II  dapat  dibenarkan,  sebab tindakan  suami  atau  isteri  atas  harta  bersama  harus  dengan  persetujuan suami isteri. Karena  belum  ada  persetujuan  isteri  maka  tindakan  Tergugat  I  membuat perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.
b.      Analisa Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung membenarkan keberatan  Pemohon Kasasi dengan dua alasan sebagai berikut :
1.       Perjanjian  lisan baru merupakan Voor Overeenskomst yaitu perjanjian permulaan yang akan  dibuat  di  Notaris   karena  masih  harus  ditindak  lanjuti  dan bagi  para  pihak  yang  membuatnya  sehingga  tidak  mempunyai  akibat hukum.
2.      Harta  bersama  antara  Tergugat  I  dan  II  selaku  suami  isteri, tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan dari suami isteri.   Karena  perjanjian  permulaan  yang  dilakukan  secara  lisan  tersebut  belum  mendapat  persetujuan  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum.
Perjanjian lisan yang masih  harus  ditindak  lanjuti  dan  belum  dibuat  di  depan  Notaris  seperti yang  dimaksud  dalam  surat  Penggugat tanggal  19  Februari  1994  tersebut di atas, maka perjanjian seperti itu belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya sehingga tidak mempunyai akibat hukum.
Kekuatan lisan bisa menyebabkan berubah-ubah alur fikiran, sehingga lisan tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum suatu perjanjian, peluang –peluang pelanggaran perjanjian dan ketidakadilan akibat hanya kesepakatan secara lisan sangat terbuka lebar beberapa orang akan menangkap suatu ide dan ucapan seseorang dengan hasil yang berbeda. Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan dirinya sendiri sehingga akan melanggaran aturan-aturan  yang adil dan layak.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
  3. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban.
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Dalam putusan kasasi tersebut dijelaskan, bahwa harta yang akan dijual adalah harta bersama dalam artian milik suami isteri maka bila milik bersama diperlukan kesepakatan dari suami isteri dan pembeli agar perjanjian jual beli sah secara hukum dan sesuai serta memenuhi Pasal 1320 Perdata sehingga keputusan sepihak atau salah satu (suami/isteri) untuk menjual harta kepada pihak lain tidak sah secara hukum. Begitupula dalam kasus jual beli tanah ini antara Penggugat (asli) lawan Tergugat 1 (suami)  dan Tergugat 2 (isteri), walaupun Tergugat 1 setuju dengan kesepakatan secara lisan di depan notaris dengan Penggugat namun karena Tergugat 2 tidak menyetujui dengan alasan obyek tersebut adalah harta bersama sehingga memerlukan persetujuannya maka perjanjiannya menjadi tidak sah.
Masalah kewenangan jual beli tanah, Adi Mansar berpendapat bahwa :
Yang berwenang melakukan tindakan jual-beli adalah :
1.      Orang yang cakap hukum
2.       Badan Hukum yang diwakilkan kuasanya.
3.      Pengampu atau wali.
4.      Seorang suami/isteri yang mendapat persetujuan suami/isteri hal ini diatur dalam pasal 35 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974.[8]
Dari kasus perkara ini dengan putusan kasasi nomor 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998 melahirkan kaidah hukum sebagai yurisprudensi :
“Tindakan terhadap harta bersama oleh  suami  atau  isteri  harus mendapat persetujuan suami isteri”
“Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami  dan  belum  disetujui  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum”

V.                Penutup
Suatu kesepakatan atau perjanjian tidak berakibat hokum bila sebatas hanya lisan mengingat kesepakatan tersebut masih premature dan berkemungkinan berubah, agar berkekuatan hokum setiap perjanjian harus tertulis didepan pejabat yang berwenang.
Putusan ini merupakan terobosan baru karena belum ada peraturan yang mengatur kekuatan perjanjian lisan sehingga diharapkan putusan ini dapat atau sebagai tolak ukur bagi aparat hokum, pengacara, maupun penegak hokum.
Putusan kasasi No. 2691 PK/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998 telah melahirkan 3 doktrin hukum sebagai yurisprudensi yaitu :
1.      Perjanjian  lisan,  baru  merupakan  perjanjian  permulaan  yang akan  ditindak  lanjuti  dan  belum  dibuat  di  depan  Notaris,  belum mempunyai  kekuatan  mengikat  bagi  para  pihak  yang  membuat-nya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum.
2.      Tindakan terhadap harta bersama oleh  suami  atau  isteri  harus mendapat persetujuan suami isteri.
3.      Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami  dan  belum  disetujui  isteri  maka  perjanjian  tersebut  tidak sah menurut hukum.


DAFTAR PUSTAKA
Andrarini, Fitika, Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak atas Tanah karena Pewarisan, Universitas Diponogoro, 2008, semarang

Cahyono, Pembatasan asas “freedom of contract” dalam Perjanjian Komersial”, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVI No. 299 Oktober 2010, Ikahi, 2010, Jakarta.

Gandadinata, Indraneti, Wanprestasi dan penyelesaiannya terhadap kredit kepemilikan rumah, Universitas Diponogoro, 2007, Semarang

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Djambatan, 2006, Jakarta

Mansar, Adi, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Hukum Tanah), YLBHI dan PSHK, 2007, Jakarta

Pusdiklat Teknis Balitbang Kumdil MA RI, Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung RI, 2008, Jakarta

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan





[1][1] Buang Affandi, Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Pengikatan Jual Beli di Jakarta Selatan, Undip, 2008, Semarang
[2]  Budi Djatmiko Hadiatmodjo, Karakter Hukum Sertifikat Tanah, http://sertifikattanah.blogspot.com/, 15 Mei 2010.
[3] Ibid
[4] Fitika Andrarini, Perbedaan Golongan Penduduk dalam Proses Pendaftaran Hak atas Tanah karena Pewarisan, Universitas Diponogoro, 2008, semarang
[5] Indrareni Gandadinata, Wanprestasi dan Penyelesaiannya, Universitas Diponogoro, 2007, Semarang.
[6] Ibid
[7] Pusdiklat Teknis Balitbang Kumdil MA RI, Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung RI, 2008, Jakarta
[8] Adi Mansar, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (Hukum Tanah), YLBHI dan PSHK, 2007, Jakarta