Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Doa Untuk orang Sakit


Diriwiyatkan oleh Bukhori Muslim, dari Aisyah RA bahwa Nabi Muhammad SAW melindungi sebagian keluarganya menyentuh dengan tangan kanannya sambil berkata :
اللهمّ رب الناس أذهب الباس اًشف أنت الشافي لا شفاء إلا شفاؤك شفاء لايغادر سقما
(Allahumma robbannasi adzhibil baasa, Asyfi Antasysyafi laa syifaan illaa syifauka syifaan laa yugoodiru saqoma)
diriwiyatkan dari shahih bukhiri Muslim rahimullah, dari ustman bin abi al'ashi R.A bahwa dia mengadu kepada Rosulullah SAW dalam tubuhnya. nabi SAW berkata : "letakkan tanganmu diatas yang sakit dari tubuhmu dan katakan bismillah 3 kali dan katakan 7 kali :
أعوذ بعزة الله وقدرته من شرّ  ماأجدوأحاذر
(A'udzu bi'izzatillahi waqudrotihi min syarri maa a jidu wa uhaadziru)
sumber Kitab Al-Adzkar (muallif Muhyiddin abi zakaria bin Syarof Nawawi)

Upaya untuk mensyar'ikan Undang Undang


Upaya Mensyar’ikan Undang-Undang di Indonesia
Pensyar’ian peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukan hal baru dalam percaturan politik hukum di Indonesia. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi peluang untuk melakukan itu. Hanya, upaya pensyar’ian itu tidak segampang yang dibayangkan orang. banyak Perda berlabel syariah yang kurang strategis, sebenarnya belum prioritas dan bertentangan dengan sistem hukum nasional, beberapa hal yang harus diperhatikan jika ingin mensyar’ikan peraturan perundang-undangan. Bila hal ini diabaikan, bukan hanya mendapat pertentangan dari masyarakat, peraturan perundang-undangan itu juga dapat dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Jika bertentangan dengan konstitusi dapat dilakukan judicial review MK dan jika bertentangan dengan Undang-Undang dapat di-judicial review di Mahkamah Agung.
Untuk mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, hal pertama yang harus jadi perhatian ialah sistem hukum yang berlaku di negeri ini. UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, adalah tolok ukur utama. Setelah itu adalah UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua yang harus diperhatikan ialah nilai yuridis keagamaan. “Apakah masalah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu bersifat fiqhiyah yang ijtihadiyah atau sudah menjadi bagian integral dari fondasi agama,. Satu hal lagi yang mesti diperhatikan ialah nilai sosiologis. “Apakah secara prioritas sudah dibutuhkan masyarakat atau belum,. Sebagai contoh Sebuah daerah membuat Perda tentang pakaian yang islami. Seluruh pegawai muslimah di daerah itu diharuskan mengenakan rok panjang. Pegawai muslimah yang mengenakan celana panjang mendapat teguran. “Aturan ini tidak pas karena para pegawai itu kebanyakan berangkat kerja naik sepeda motor. Kalau disuruh pakai rok panjang, tentu jadi repot,” . hal ini dikemukakan oleh Mukhtar Zamzami.
Meski mensyar’ikan peraturan perundang-undangan memerlukan jalan berliku, akademisi dan praktisi syariah tidak boleh pesimis. Peluang itu tetap terbuka dengan cara-cara damai dan tidak melakukan kekerasan.
Akan tetapi upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie yang dibawa oleh Snouk Hurgronje memulai dengan pkiran baru tentang Hukum Islam yang mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia  adalah Hukum Adat asli dan didalam Hukum Adat itu memang masuk sedikit-dikit pengaruh Hukum Islam. Lebih lanjut menngemukakan bahwa Hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau sudah diiterima Hukum Adat, jika Hukum Islam diberlakukan  maka hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam tapi Hukum adat. Paham ini memang keliru tetapi tampaknya kekeliruan itu disengaja dalam rangka sistematis melelemahkan hukum Islam di Indonesia.
Pengembosan opini melalui jalur agama, budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mencoba memberangus keberadaan Hukum bila dijadikan Undang-Undang. Penundingan dan fitnah yang dilontarkan kepada para pemikir dan ahli hukum Islam cenderung memojokan akan kehendak berdirinya Negara Islam di Indonesia ini.
Hal ini mengemuka ketika akan disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Sehingga hal tersebut memicu pro kontra sebagaimana munculnya kontraversi terhadap dengan dihembuskannya Islamisasi hukum pidana Indonesia. Penolakan terhadap RUU KUHP sama gencarnya dengan penolakan UU Pornografi tersebut. 
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ide awal dari pembentukan UU Pornografi berasal dari usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) khusus pada Komisi Hukum Dan Politik Wanita Islam Pusat. Dapat pula dipahami akan kekhawatiran pandangan dari golongan yang kontra terhadap Undang-Undang tersebut.
Rocky Marbun mengemukakan Kondisi tersebut terbentuk dikarenakan adanya beberapa permasalahan yang menjadi penyebab, yaitu antara lain:
1.             Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat
Mengapa dalam kurun waktu sekian puluh tahun masyarakat mengalami perubahan dalam mempertahankan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri?
Menurut Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA, beliau mengatakan perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (intern) muapun dari luar masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.
Dikarenakan terdapatnya perubahan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan yang termuat di peraturan perundang-undangan dengan mengkaitkan norma sosial sebagai indikasi adanya pelanggaran hukum sudah tidak dapat menjerat para pelaku tindak pidana pornografi.
Sehingga betapa tepatnya ungkapan oleh Syekh Muhammad Al-Ghozali, yang mengatakan bahwa “Jika kita telah sepakat bahwa TBC adalah penyakit, tentulah kita tidak akan berselisih tentang sebab-sebab penularannya. Demikian pula jika kita telah sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji, tentulah kita tidak akan berselisih tentang pencegahan semua bentuk pamer aurat (tabarruj) dan propaganda ke arahnya yang akan menyebabkan terjadinya perzinaan tersebut.
2.             Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam
Adanya pemahaman yang keliru terhadap hukum Islam sehinga sering kali umat Islam sendiri menjadi penentang akan diterapkannya konsep hukum Islam ke dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Dalam menyampaikan maksud dan kehendak dari sistem hukum Islam tidak dapat hanya menggunakan pendekatan fiqh semata namun juga harus melalui pendekatan fiqh dakwah. Maka tidak heran bila masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam pun menolak adanya konsep hukum Islam.
Wajah yang ditampilkan terhadap hukum Islam sebagi contoh dalam hukum pidana semata yang selalu berkaitan dengan rajm, cambuk dan hukuman mati. Namun tidak pernah diungkapkan secara lugas dan transparan mengenai hikmah-hikmah di balik pemidanaan tersebut.
Al Qur’an sebagai kitab petunjuk untuk seluruh manusia maka Al-Qur'an sudah pasti memuat prinsip-prinsip hukum yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya masyarakat itu sendiri. Adanya prinsip yang dibangun oleh al-Qur'an mengindikasikan bahwa tidak semua kasuistik yang terjadi dapat diserap melalui pernyataan-pernyataan ayat.
3.             Perbedaan Mahzab Di Dalam Islam
Permasalahan pelik yang sering kali terjadi sehingga terjadi pergesekan di dalam masyarakat Islam khususnya di Indonesia, adalah selalu berkaitan dengan kepada Mahzab mana ia menundukkan dirinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Sehingga perbedaan tersebut tentu pada akhirnya akan pula menimbulkan kendala yang cukup serius.
Sungguh suatu pelajaran yang berharga bagi kita semua apabila kita memperhatikan bersama dengan apa yang telah terjadi pasca-kemenangan Afghanistan terhadap penjajahan (Uni Sovyet) yang melanda negerinya selama berabad-abad.
Tarik ulur mengenai Mahzab mana yang akan diterapkan ke dalam konstitusi mereka akhirnya justru melemahkan mereka sendiri dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketaatan dan ketertundukan terhadap suatu Mahzab secara tak sadar menyeret suatu kaum pada pengikaran akan ketaatan dan ketertundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Empat Imam Mahzab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal) telah melarang pengikut mereka untuk bertaqlid kepada mereka, dan mereka mengecam orang yang mengambil pendapat mereka tanpa didasarkan kepada hujjah (dalil) yang nyata. Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa didasarkan kepada hujjah laksana orang yang mencari kayu bakar di malam hari, dimana dia membawa ikatan kayu bakar yang didalamnya ada ular yang berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak mengetahuinya.”
Satu hal yang perlu juga kita pahami bersama adalah bahwa perbedaan mahzab tersebut hanya sebatas pada masalah-masalah cabang yang hukumnya  sumir (furu’iyyah) namun untuk masalah utama adalah hal yang qath’i (jelas).
4.             Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan khususnya KUHP dan UU Media Massa, selalu termuat unsur kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Namun ironisnya, beberapa ahli hukum dan sosial budaya serta penegak hukum tidak mengindahkan norma agama sebagai salah satu unsur dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan khususnya pornografi dan pornoaksi.
Moh. Mahfud MD mengemukakan, Sistem hukum nasional adalah sistem yang bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu sebagai peraturan perundang-undangan).
Posisi syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali  untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri.
Era reformasi, hukum mengalami perkembangan pesat. Berbagai peratuaran perundang-undangan dibuat untuk menggantikan peraturan lama yang dipandang tidak sesuai dengan perkembangan, khususnya terkait perlindungan terhadap HAM, hak konstitusional warga negara, serta iklim demokrasi. Perkembangan tersebut mempengaruhi politik hukum Islam dalam tata hukum nasional. Beberapa perkembangan tersebut memperkuat kedudukan hukum Islam sebagai Hukum materiil. Diantaranya pemberian wewenang kepada daerah untuk membuat peratuaran peratuaran daerah, sejak UU No. 22 tahun 1999 yang materinya  dapat bersumberkan dari hukum agama. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang membolehkan dibuatnya Hukum Pidana Islam. Kemudian terakhir UU no 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua  UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
E. KESIMPULAN
Politik hukum secara etimologi adalah kebijakan hukum, adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara terminologi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Hukum  Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam dan muatan yang terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan dalam masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini dapat memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini tetapi juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengganti pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial sekarang maupun yang akan datang.
Untuk mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, Pertama UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua nilai yuridis keagamaan,. terakhir  ialah nilai sosiologis.
Upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie dan beberapa faktor lain : Perubahan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat, Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam, Perbedaan Mahzab di Dalam Islam dan Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang menghambat perkembangan Hukum Islam.
Posisi syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali  untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri





DAFTAR PUSTAKA
Appeldoorn, LJ. Van., Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), 1981.
Hartono, Sunaryati,  Prof., Dr., CFG., SH, Politik Hukum menuju Satu sistem Hukum Nasional, (Bandung : Alumni) 1991.
Kairsy, David . The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,) 1990
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam
Mahfud, Moh. MD,. Prof.,Dr., Politik Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Varia Peradilan majalah Hukum Tahun XXV no. 290 Januari 2010 (Ikahi : Jakarta)
Manan,  Abdul,Prof., Dr., SH. SIP., M.Hum., Hukum Islam Persoalan Masa Kini dan Harapan Masa Depan dalam Bingkai Pluralisme Bangsa, Jurnal Mimbar Hukum, edisi No. 72, 2010, PPHIMM
Marbun, Rocky, MH.,  Faktor Penghambat Dalam Menerapkan Konsep Hukum Pidana Islam Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi, 
Radhie, Teuku Muhammad dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973.
Rajagukguk,  Erman.,  Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, Disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandungke-37, 2 April 2005.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta :Raja Grafindo), 2008.
Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers,) 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Zamzami Mukhtar, Drs. H., SH., MH., Jalan Berliku Mensyar’ikan Undang-Undang, Badilag.net, Senin, 24 Januari 2011 10:39

Sepatah kata Syariah

upaya untuk mengembangkan syariah atau hukum Islam (selanjutnya disebut syariah) selalu mendapat tantangan dengan berbagai macam dalil. bahkan tidak jarang pemuka - pemuka atau tokoh - tokon Islam menolak kehadiran hukum Islam atau syariah padahal sangat jelas syariah tidak mengganggu kepentingan umat agama lain baik kristen, budha, hindu ataupun agama lain.
umat Islam akan menunjukkan "gerakan"nya jika masuk pengaruh - pengaruh sesat seperti Ahmadiyah ataupun gerakan sekuler bahkan ada cerita dari seorang ulama memberi nama pesantrennya Ulil Abshar kemudian gurunya datang mengunjungi pesantren tersebut dan menyuruh ulama tersebut mengganti nama pesantrennya karena nama tersebut sangat identik dengan tokoh sekuler Ulil Abshar Abdallah maka karena ketaatan kepada gurunya ulama tersebut mengganti nama pesantrennya menjadi Ulil Albab. kita tidak bisa selalu diam menunggu akan ada bahaya yang mengancam umat Islam dengan berbagai macam aliran. ada filosofi pencegahan lebih baik daripada telah terjadi penyakit.
gerakan jihad kaum radikal yang nyeleneh justeru mengakibatkan korban dari Umat Islam sendiri sehingga menimbulkan antipati atau kesan Islam identik dengan kekerasan. mayoritas penegak hukum (polisi dan TNI) adalah umat Islam dan yang melakukan gerakan radikal adalah umat Islam sangat disayangkan akhirnya sesama umat islam saling memburu. hal ini disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang syariah atau hukum Islam dan perpolitikan Islam.
Dengan adanya blog ini setidaknya dapat membantu sejauh mana syariah berlaku di negeri kita yang tercinta ini. kita dapat hidup rukun damai dengan umat agama lain tanpa harus saling bermusuhan. "lakum dinukum waliyadin" (bagimu agamamu bagiku agamaku). syariah sangat diperlukan di Indonesia mengingat umat Islam adalah mayoritas sehingga sangat berkepentingan sebagai contoh pengaturan pencatatan perkawinan, produk halal, bank syariah dan lain-lain. namun umat islam harus mempunyai toleransi yang tinggi kepada umat beragama yang lain sehingga inilah yang disebut dakwah bilhikkmah wal mau'idotil hasanah sebagaimana dalam al-Quran.

Politik Hukum Dalam Mensyar'ikan Undang Undang

DIMENSI POLITIK HUKUM
DALAM MENSYAR’IKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA[1]

A.    PENDAHULUAN
Dimensi ilmu hukum hakikatnya amat luas. Diibaratkan sebuah ‘pohon”, hukum adalah sebuah pohon besar dan rindang yang terdiri akar, daun, ranting, dahan, batang dan buah. Karena begitu lebatnya hukum tersebut dapat dikaji perspektif asasnya, sumbernya, pembedaaannnya, penggolongannya, dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum yang diklasifikasian berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masa berlakunya, cara mempertahankannya, sifatnya dan berdasarkan wujudnya.
Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isimya maka dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut ketentuan doktrin ketentuan  hukum publik merupakan yang mengatur ketentuan kepentingan umum (algemene blangen) sedangkan ketentuan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bezondere belangen)[2]. Ditinjau dari aspek fungsinya maka salah ruang lingkup hukum publik  adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (matereel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel strafrecht) sedangkan hukum privat dapat dibagi menjadi menjadi hukum perdata formil dan hukum perdata materiil.
DIMENSI POLITIK HUKUM
DALAM MENSYAR’IKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

A.    PENDAHULUAN
Dimensi ilmu hukum hakikatnya amat luas. Diibaratkan sebuah ‘pohon”, hukum adalah sebuah pohon besar dan rindang yang terdiri akar, daun, ranting, dahan, batang dan buah. Karena begitu lebatnya hukum tersebut dapat dikaji perspektif asasnya, sumbernya, pembedaaannnya, penggolongannya, dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum yang diklasifikasian berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masa berlakunya, cara mempertahankannya, sifatnya dan berdasarkan wujudnya.
Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isimya maka dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut ketentuan doktrin ketentuan  hukum publik merupakan yang mengatur ketentuan kepentingan umum (algemene blangen) sedangkan ketentuan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bezondere belangen). Ditinjau dari aspek fungsinya maka salah ruang lingkup hukum publik  adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (matereel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel strafrecht) sedangkan hukum privat dibagi menjadi dua menjadi hukum perdata formil dan hukum perdata materiil.
Lord Radcliffe, dalam “The Law and Its Compass” (1961) mengatakan:
“you will not mistake my meaning or suppose that I depreciate one
of the great humane studies of I say that we cannot learn law by
learning law. If it is to be anything more that just a technique it is to
be so much more than it self : a part of history, a part of economics
and sociology, a part of ethicks and a philosophy of life.”

Jadi ilmu hukum itu bagian dari sejarah, bagian dari ekonomi dan sosiologi, bagian dari etika dan falsafah hidup bangsa. Erman Rajagukguk berpendapat bagi Indonesia tidak mungkin diciptakan atau disusun satu ilmu hukum Indonesia yang uniform karena alasan sejarah, pluralisme masyarakat. Indonesia dan Indonesia bagian dari masyarakat global.[1]
Negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk 80 % lebih beragama Islam dan merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga wajar kalau negara ikut campur dan memiliki berbagai kepentingan untuk mengatur hajat hidup penduduk muslim, ternyata upaya tersebut tidak mudah mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk heterogen dengan berbagai macam budaya dan bekas jajahan Belanda yang turut andil dalam menghambat pengembangan Hukum Islam di Indonesia.
Syariat Islam atau hukum Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.[2]
Hukum diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakan supermasi hukum sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung secara konstitusional. Oleh sebab hukum harus sejalan dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi rakyat dalam negara tersebut sehingga disinilah negara berkepentingan dalam menerapkan hukum dengan mempertingkan juga kaum minoritas tanpa membeda-bedakan SARA, akan tetapi negara harus memperhatikan kaum muslimin yang merupakan pendudukt erbesar di Indonesia.
 Hal serupa yang terjadi dan perlu dicermati adalah berkembangnya masyarakat dan dinamikanya menuntut adanya reformasi di segala bidang, terutama pada bidang pelayanan public oleh para birokrat yang merupakan pokok dari upaya memajukan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang harus mampu menjalankan amanah konstitusi demi menciptakan perubahan yang positif dalam pembangunan.
B. Perumusan Masalah
            Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam akan tetapi dalam menerapkan Hukum Islam tidak bisa dijalankan sepenuhnya dan banyak aral melintang yang menjadi hambatan terbentuknya Hukum Islam di Indonesia. Peran ekesekutif, legislatif dan yudikatif sangat diperlukan untuk pembentukan dan menerapkan Hukum Islam di Indonesia walaupun tidak secara kaffah (menyeluruh) minimal hukum Islam diterapkan secara bertahap dengan tahapan-tahapan rasional terhadap umat Islam di Indonesia. Undang-Undang yang mana merupakan landasan awal dan dasar dalam pembentukan dan dasar hukum Islam tidaklah mudah dalam pembentukannya di Indonesia sebagai contoh pembentukan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peadilan Agama tidaklah mudah terbentuk banyak pihak yang berusaha menggagalkan terbentuknya Undang-Undang tersebut dengan alasan dan berbagai kepentingan. Dari berbagai macam masalah diatas beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
1.      Bagaimana dimensi politik hukum dalam pembentukan Hukum Islam?
2.      Bagaimana upaya mensyari’kan Undang-Undang di Indonesia?




C. Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Islam.
            LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.[3] Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.[4] Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[5]
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[6] Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum.[7] Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
D. Upaya Mensyar’ikan Undang-Undang di Indonesia
Pensyar’ian peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukan hal baru dalam percaturan politik hukum di Indonesia. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi peluang untuk melakukan itu. Hanya, upaya pensyar’ian itu tidak segampang yang dibayangkan orang.[8]










[1] Erman Rajagukguk,  ILMU HUKUM INDONESIA: PLURALISME : Disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandungke-37, 2 April 2005
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam
[3] LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
[4] A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002), hlm. 9.
[5] David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,1990), hlm. xi.
[6] Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973,hlm. 4.
[7] A.S.S. Tambunan, Ibid. Lihat referensi aslinya Abdul Hakim Garuda Nusantara, PolitikHukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988).
[8] Mukhtar Zamzami, Jalan Berliku Mensyar’ikan Undang-Undang, Badilag.net, Senin, 24 Januari 2011 10:39