Politik Hukum Dalam Mensyar'ikan Undang Undang
DIMENSI POLITIK HUKUM
DALAM MENSYAR’IKAN UNDANG-UNDANG DI
INDONESIA[1]
A. PENDAHULUAN
Dimensi
ilmu hukum hakikatnya amat luas. Diibaratkan sebuah ‘pohon”, hukum adalah
sebuah pohon besar dan rindang yang terdiri akar, daun, ranting, dahan, batang
dan buah. Karena begitu lebatnya hukum tersebut dapat dikaji perspektif
asasnya, sumbernya, pembedaaannnya, penggolongannya, dan lain sebagainya.
Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum yang diklasifikasian
berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masa berlakunya,
cara mempertahankannya, sifatnya dan berdasarkan wujudnya.
Dikaji
dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isimya maka dikenal klasifikasi
hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut ketentuan doktrin ketentuan hukum publik merupakan yang mengatur
ketentuan kepentingan umum (algemene blangen) sedangkan ketentuan hukum
privat mengatur kepentingan perorangan (bezondere belangen)[2].
Ditinjau dari aspek fungsinya maka salah ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial
dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (matereel strafrecht) dan
hukum pidana formal (formeel strafrecht) sedangkan hukum privat dapat dibagi
menjadi menjadi hukum perdata formil dan hukum perdata materiil.
Lord Radcliffe, dalam “The Law and Its
Compass” (1961) mengatakan:
“you will not mistake my meaning or suppose
that I depreciate one
of the great humane studies of I say that
we cannot learn law by
learning law. If it is to be anything more
that just a technique it is to
be so much more than it self : a part of
history, a part of economics
and sociology, a part of ethicks and a
philosophy of life.”
Jadi
ilmu hukum itu bagian dari sejarah, bagian dari ekonomi dan sosiologi, bagian
dari etika dan falsafah hidup bangsa. Erman Rajagukguk berpendapat bagi
Indonesia tidak mungkin diciptakan atau disusun satu ilmu hukum Indonesia yang
uniform karena alasan sejarah, pluralisme masyarakat. Indonesia dan Indonesia
bagian dari masyarakat global.[3]
Sunaryati
Hartono mengemukakan Hukum itu merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan
jembatan, yang harus membawa kita kepada ide-ide yang dicita-citakan.[4]
Negara
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan
merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga
wajar kalau negara ikut campur dan memiliki berbagai kepentingan untuk mengatur
hajat hidup penduduk muslim, ternyata upaya tersebut tidak mudah mengingat
Indonesia merupakan negara dengan penduduk heterogen dengan berbagai macam
budaya dan bekas jajahan Belanda yang turut andil dalam menghambat pengembangan
Hukum Islam di Indonesia.
Syariat Islam atau hukum Islam adalah
hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik
umat Islam maupun non Islam. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga
berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian
penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh
permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.[5]
Hukum
diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya
pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakan supermasi hukum
sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung
secara konstitusional. Oleh sebab hukum harus sejalan dengan kondisi sosial
budaya dan ekonomi rakyat dalam negara tersebut sehingga disinilah negara
berkepentingan dalam menerapkan hukum dengan mempertimbangkan juga kaum
minoritas tanpa membeda-bedakan SARA, akan tetapi negara harus memperhatikan
kaum muslimin yang merupakan penduduk terbesar di Indonesia.
Hal serupa yang terjadi dan perlu dicermati
adalah berkembangnya masyarakat dan dinamikanya menuntut adanya reformasi di
segala bidang, terutama pada bidang pelayanan publik oleh para birokrat yang
merupakan pokok dari upaya memajukan pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang harus mampu menjalankan amanah
konstitusi demi menciptakan perubahan yang positif dalam pembangunan.
B. Perumusan Masalah
Negara Indonesia
merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam akan tetapi dalam
menerapkan Hukum Islam tidak bisa dijalankan sepenuhnya dan banyak aral
melintang yang menjadi hambatan terbentuknya Hukum Islam di Indonesia. Peran
ekesekutif, legislatif dan yudikatif sangat diperlukan untuk pembentukan dan
menerapkan Hukum Islam di Indonesia walaupun tidak secara kaffah (menyeluruh)
minimal hukum Islam diterapkan secara bertahap dengan tahapan-tahapan rasional
terhadap umat Islam di Indonesia. Undang-Undang yang mana merupakan landasan
awal dan dasar dalam pembentukan dan dasar hukum Islam tidaklah mudah dalam
pembentukannya di Indonesia sebagai contoh pembentukan Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peadilan Agama tidaklah mudah terbentuk banyak pihak yang
berusaha menggagalkan terbentuknya Undang-Undang tersebut dengan alasan dan
berbagai kepentingan. Dari berbagai macam masalah diatas beberapa masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini :
1.
Bagaimana dimensi politik hukum dalam pembentukan Hukum Islam?
2.
Bagaimana upaya mensyari’kan Undang-Undang di Indonesia?
C. Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Islam.
Dalam perspektif etimologis, politik hukum merupakan
terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek,
yang merupakan bentukan dari dua kata rechts dan politiek. Dalam
bahasa Indonesia kata Recht berarti hukum, kata hukum berasal dari kata arab hukm
(kata jamaknya ahkam) yang berari putusan (judgement, verdict,
decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintah
(governant), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence).[6] Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang
ditulis oleh Vander Tas, kata politiek mengandung arti beleid.
Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berati kebijakan (policy).
Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat adalah
kebijakan hukum, adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan
kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak dalam bidang hukum.[7]
Dalam perspektif
terminologis, LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut
dengan istilah politik perundang-undangan.[8]
Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum
dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui
juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.[9]
Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan
hukum.[10]
Padmo Wahjono
mengatakan politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat
mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun dari isi hukum yang akan dibentuk
dan tentang apa yang menjadi kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan
demikian, politik hukum menurut padmo wahyono berkaitan dengan hukum yang
berlaku di masa datang (ius constituendum).[11]
Teuku Muhammad
Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana
hukum hendak dikembangkan.[12]
Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan
hukum.[13]
Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD
yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy
ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Dalam literatur
kitab-kitab ulama salaf, para pakar Hukum Islam tidak menggunakan istilah kata Hukum
Islam,yang biasa dipergunakan adalah syariat Islam. Hukum syara, Fiqh, syariat
dan Syara. Kata hukum Islam baru muncul ketika para orientalis barat mulai mengadakan
penelitian terhadap ketentuan syariat isla dengan term ‘Islamic law’ yang
secara harfiah disebut Hukum Islam.
Para ahli masih
berbeda pendapat dalam memberi arti Hukum Islam, sebagian mengartikan Hukum Islam
merupakan pedoman moral, bukan hukum dalam pengertian hukum modern. Pendapat
ini dikemukakan oleh Muhammad Khalid bin Mas’ud bahwa hukum Islam itu adalah “a system of ethical or moral
rules”. Hal ini sesuai dikemukakan oleh Joseph schacht bahwa tujuan
Muhammad ditunjuk menjadi nabi bukan menciptakan suatu sistem hukum baru, melainkan
mengajar manusia untuk bertindak, apa yang harus dilakukan, apa yang harus
ditinggalkan agar selamat pada hari pembalasan dan bagaimana cara agar masuk
surga.begitu juga dikemukakan oleh Asaf A.A. Fyzee bahwa Hukum Islam tidak lain
common of Law yakni keseluruhan dari perintah-perintah tuhan yang meliputi seluruh tindak tanduk
manusia. Jadi hukum Islam itu tidak dapat dikatakan hukum dalam arti Hukum
modern.[14]
Disamping
pemikiran seperti dikemukan diatas, sebagian ahli hukum lain menyatakan hukum Islam
adalah hukum dalam tatanan modern. Hal ini dapat dilihat bahwa muatan yang
terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan dalam
masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini
dapat memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini tetapi juga dapat
dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengganti pertumbuhan ekonomi, politik dan
sosial sekarang maupun yang akan datang.
Amin Syarifudin
mengemukakan, pengertian Hukum Islam. Perlu lebih dahulu kata ‘hukum’ dalam
Bahasa indonesia dan kemudian kata hukum itu disandarkan kepada “Islam”.
Pengertian “hukum’ secara sederhana adalah seperangakat peraturan tentang
tingkah laku yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang orang-orang yang
diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya. Bila kata hukum digabung dengan kata Islam atau syara maka hukum
Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rosul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua manusia yang beragama Islam.[15]
Hasbi Ash Shiddieqie
mengemukakan bahwa hukum Islam memiliki tiga karakter yang merupakan ketentuan
yang tidak berubah, yaitu :
- Takammul
yaitu sempurna, bulat dan tuntas.maksudnya bahwa Hukum Islam membentuk
umat dalamsegala ketentuan yang bulat, walaupun berbeda-beda bangsa dan
berlainan suku tetapi mereka satu kesatuan tidak terpisahkan, utuh
harmoni, dan dinamis.
- Wasathiyah
(harmoni) yakni Hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang dan
tidak memihak sebelah. Hukum Islam selalu menyelaraskan diantara kenyataan
dan fakta dengan ideal dan
cita-cita.
- Harakah
(dinamis). Yakni Hukum Islam yakni
memiliki kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan
membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum Islam
terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memberikan kepada manusia
sejumlah hukum positif dan dapat dipergunakan setiap tempat dan waktu.[16]
Indonesia
merupakan negara dengan kondisi masyarakat yang pluralistik dan heterogen serta
menghendaki masyarakat yang seimbang, maka setiap masalah dan kebijaksanaan
hukum perlu diteliti kasus demi kasus, sehingga penyemarataan bagi semua kasus
hukum, apalagi bagi semua daerah hukum dan bidang hukum akan mengaakibatkan ketidakadilan.
Dalam
mengakomodir setiap kepentingan di seluruh wilayah Republik Indonesia dan
lapisan masyarakat Indonesia yang pluralistik yang heterogen dibutuhkan Hukum
Islam untuk mengakomodir penduduk Indonesia beragama Islam dengan tetap
memperhatikan yang minoritas sehingga tidak terjadi suatu konflik secara
horizontal antara masyarakat.
Politik
hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia)
dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai
tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda
yang dicita-citakan dalam politik hukum nasional, yaitu (1) masalah kebijakan
dasar yang meliputi konsep dan letak; (2) penyelenggara negara pembentuk
kebijakan dasar tersebut; (3) materi hukum yang meliputi hukum yang akan,
sedang, dan telah berlaku;(4) proses pembentukan hukum; (5) tujuan politik
hukum nasional.[17]
Dalam
kosideran Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dikemukakan :
a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya
dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan
kelancaran proses pembentukanan peraturan perundang-undangan, maka negara
Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
Dan juga
dikemukakan dalam Pasal 53 Undang-Undang tersebut memberi amanat kepada
pemerintah akan kepentingan orang-orang yang diluar garis pemerintahan yaitu :
Pasal 53
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan
peraturan daerah.
Tujuan
penegakan hukum tidak bisa dilepas dari hidup bernegara dan
bermasyarakat yang tidak bisa dilepaskan
dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri, yakni
keadilan (juctice), dengan demikian penegakan hukum yang berkeadilan
dimaksudkan untuk mewujudkan kebahagian
dan kesejahteraan lahir dan batin dalam kehidupan bersama.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila
adalah religios nation state, bukan negara agama (yang menganut satu
agama tertentu), dan bukan negara sekuler (yang hampa agama). Indonesia adalah
negara kebangsaan yang religius yang menjadaikan agama sebagai dasar moral dan
sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakatnya.
Dalam bidang hukum negara Pancasila menggariskan empat kaidah penuntun hukum
nasional. Pertama, hukum-hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau
keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif
berdasarkan ikatan primordial. Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis
dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Pembuataanya harus menyerap
dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukukan dengan cara hukum atau prosedural
dan fair. Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial. Keempat,
tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya
beragam) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu sebab negara Hukum
Pancasila mengharuskan tampilnya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama
yang beradab.[18] Dalam konsepsi demikian, syariat Islam (sampai
pada hukum dan fiqihnya) dapat menjadi sumber hukum bersama dengan
sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagi kesadaran hukum masyarakat
Indonesia.
D. Upaya Mensyar’ikan
Undang-Undang di Indonesia
Pensyar’ian
peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukan hal baru dalam percaturan
politik hukum di Indonesia. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberi peluang
untuk melakukan itu. Hanya, upaya pensyar’ian itu tidak segampang yang
dibayangkan orang. banyak Perda berlabel syariah yang kurang strategis,
sebenarnya belum prioritas dan bertentangan dengan sistem hukum nasional,
beberapa hal yang harus diperhatikan jika ingin mensyar’ikan peraturan perundang-undangan.
Bila hal ini diabaikan, bukan hanya mendapat pertentangan dari masyarakat,
peraturan perundang-undangan itu juga dapat dibatalkan melalui uji materiil di
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Jika bertentangan dengan konstitusi
dapat dilakukan judicial review MK dan jika bertentangan dengan
Undang-Undang dapat di-judicial review di Mahkamah Agung.
Untuk
mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, hal pertama yang harus jadi
perhatian ialah sistem hukum yang berlaku di negeri ini. UUD 1945 hasil
amandemen, khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, adalah tolok ukur
utama. Setelah itu adalah UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk hukum di Indonesia harus
memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi, Hal kedua yang
harus diperhatikan ialah nilai yuridis keagamaan. “Apakah masalah yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan itu bersifat fiqhiyah yang ijtihadiyah atau
sudah menjadi bagian integral dari fondasi agama,. Satu hal lagi yang mesti
diperhatikan ialah nilai sosiologis. “Apakah secara prioritas sudah dibutuhkan
masyarakat atau belum,. Sebagai contoh Sebuah daerah membuat Perda tentang pakaian
yang islami. Seluruh pegawai muslimah di daerah itu diharuskan mengenakan rok
panjang. Pegawai muslimah yang mengenakan celana panjang mendapat teguran. “Aturan
ini tidak pas karena para pegawai itu kebanyakan berangkat kerja naik sepeda
motor. Kalau disuruh pakai rok panjang, tentu jadi repot,” . hal ini dikemukakan
oleh Mukhtar Zamzami.[19]
Meski
mensyar’ikan peraturan perundang-undangan memerlukan jalan berliku, akademisi
dan praktisi syariah tidak boleh pesimis. Peluang itu tetap terbuka dengan cara-cara
damai dan tidak melakukan kekerasan.
Akan tetapi
upaya tersebut tidaklah mudah, masih kuatnya pengaruh Teori Receptie
yang dibawa oleh Snouk Hurgronje memulai dengan pkiran baru tentang Hukum Islam
yang mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli dan didalam Hukum Adat
itu memang masuk sedikit-dikit pengaruh Hukum Islam. Lebih lanjut menngemukakan
bahwa Hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau sudah diiterima Hukum
Adat, jika Hukum Islam diberlakukan maka
hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam tapi Hukum adat. Paham ini memang
keliru tetapi tampaknya kekeliruan itu disengaja dalam rangka sistematis
melelemahkan hukum Islam di Indonesia.
Pengembosan
opini melalui jalur agama, budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mencoba
memberangus keberadaan Hukum bila dijadikan Undang-Undang. Penundingan dan fitnah yang dilontarkan kepada para pemikir dan ahli hukum Islam cenderung memojokan akan kehendak
berdirinya Negara Islam di Indonesia ini.
Hal ini mengemuka ketika akan
disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi Sehingga hal tersebut memicu pro kontra sebagaimana
munculnya kontraversi terhadap dengan dihembuskannya Islamisasi hukum pidana
Indonesia. Penolakan terhadap RUU KUHP sama gencarnya dengan penolakan UU
Pornografi tersebut.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ide awal dari pembentukan UU Pornografi
berasal dari usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) khusus pada Komisi Hukum Dan
Politik Wanita Islam Pusat. Dapat pula dipahami akan kekhawatiran pandangan
dari golongan yang kontra terhadap Undang-Undang tersebut.
Rocky Marbun[20]
mengemukakan Kondisi tersebut terbentuk dikarenakan adanya beberapa permasalahan yang
menjadi penyebab, yaitu antara lain:
1.
Perubahan
Nilai-Nilai Dalam Masyarakat
Mengapa dalam kurun waktu sekian
puluh tahun masyarakat mengalami perubahan dalam mempertahankan norma-norma
yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri?
Menurut Dr. Soerjono Soekanto, SH,
MA, beliau mengatakan perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat
dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat
berasal dari masyarakat itu sendiri (intern) muapun dari luar masyarakat
(ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat
disebutkan misalnya pertambahan penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan
(conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern
dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh
kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi
dengan cepat apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi
dengan masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.
Dikarenakan terdapatnya perubahan
norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga ketentuan-ketentuan yang termuat
di peraturan perundang-undangan dengan mengkaitkan norma sosial sebagai
indikasi adanya pelanggaran hukum sudah tidak dapat menjerat para pelaku tindak
pidana pornografi.
Sehingga betapa tepatnya ungkapan
oleh Syekh Muhammad Al-Ghozali, yang mengatakan bahwa “Jika kita telah sepakat
bahwa TBC adalah penyakit, tentulah kita tidak akan berselisih tentang
sebab-sebab penularannya. Demikian pula jika kita telah sepakat bahwa zina
adalah perbuatan keji, tentulah kita tidak akan berselisih tentang pencegahan
semua bentuk pamer aurat (tabarruj) dan propaganda ke arahnya yang akan
menyebabkan terjadinya perzinaan tersebut.
2.
Pemahaman
Yang Keliru Terhadap Hukum Islam
Adanya pemahaman yang keliru
terhadap hukum Islam sehinga sering kali umat Islam sendiri menjadi penentang akan diterapkannya konsep hukum Islam
ke dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Dalam
menyampaikan maksud dan kehendak dari sistem hukum Islam tidak dapat hanya
menggunakan pendekatan fiqh semata namun juga harus melalui pendekatan fiqh
dakwah. Maka tidak heran bila masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam
pun menolak adanya konsep hukum Islam.
Wajah yang
ditampilkan terhadap hukum Islam sebagi contoh dalam hukum pidana semata yang selalu berkaitan dengan rajm, cambuk dan hukuman mati. Namun
tidak pernah diungkapkan secara lugas dan transparan mengenai hikmah-hikmah di
balik pemidanaan tersebut.
Al Qur’an
sebagai kitab petunjuk untuk seluruh manusia maka Al-Qur'an sudah pasti memuat
prinsip-prinsip hukum yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya
masyarakat itu sendiri. Adanya prinsip yang dibangun oleh al-Qur'an
mengindikasikan bahwa tidak semua kasuistik yang terjadi dapat diserap melalui
pernyataan-pernyataan ayat.
3.
Perbedaan
Mahzab Di Dalam Islam
Permasalahan pelik yang sering kali
terjadi sehingga terjadi pergesekan di dalam masyarakat Islam khususnya di
Indonesia, adalah selalu berkaitan dengan kepada Mahzab mana ia menundukkan
dirinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Sehingga perbedaan tersebut
tentu pada akhirnya akan pula menimbulkan kendala yang cukup serius.
Sungguh suatu pelajaran yang
berharga bagi kita semua apabila kita memperhatikan bersama dengan apa yang
telah terjadi pasca-kemenangan Afghanistan terhadap penjajahan (Uni Sovyet)
yang melanda negerinya selama berabad-abad.
Tarik ulur mengenai Mahzab mana yang
akan diterapkan ke dalam konstitusi mereka akhirnya justru melemahkan mereka
sendiri dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ketaatan dan ketertundukan
terhadap suatu Mahzab secara tak sadar menyeret suatu kaum pada pengikaran akan
ketaatan dan ketertundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Empat Imam
Mahzab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal) telah
melarang pengikut mereka untuk bertaqlid kepada mereka, dan mereka mengecam
orang yang mengambil pendapat mereka tanpa didasarkan kepada hujjah (dalil)
yang nyata. Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu
pengetahuan tanpa didasarkan kepada hujjah laksana orang yang mencari kayu
bakar di malam hari, dimana dia membawa ikatan kayu bakar yang didalamnya ada
ular yang berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak mengetahuinya.”
Satu hal yang
perlu juga kita pahami bersama adalah bahwa perbedaan mahzab tersebut hanya
sebatas pada masalah-masalah cabang yang hukumnya sumir (furu’iyyah) namun untuk masalah utama adalah hal yang qath’i (jelas).
4.
Penyimpangan
Penafsiran Undang-Undang
Dalam berbagai peraturan
perundang-undangan khususnya KUHP dan UU Media Massa, selalu termuat unsur
kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Namun ironisnya, beberapa ahli hukum
dan sosial budaya serta penegak hukum tidak mengindahkan norma agama sebagai
salah satu unsur dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan
khususnya pornografi dan pornoaksi.
Moh. Mahfud MD mengemukakan, Sistem
hukum nasional adalah sistem yang bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi
memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber
hukum atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai
sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan menjadi sumber hukum
formal (dalam bentuk tertentu sebagai peraturan perundang-undangan).[21]
Posisi syariat Islam (hukum Islam)
dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum materiil yang dapat digabung
dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali
untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam hal-hal terkait dengan
peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji, zakat dan sebagainya.
Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi negara
wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan
ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri.
Era reformasi, hukum mengalami
perkembangan pesat. Berbagai peratuaran perundang-undangan dibuat untuk
menggantikan peraturan lama yang dipandang tidak sesuai dengan perkembangan,
khususnya terkait perlindungan terhadap HAM, hak konstitusional warga negara,
serta iklim demokrasi. Perkembangan tersebut mempengaruhi politik hukum Islam dalam
tata hukum nasional. Beberapa perkembangan tersebut memperkuat kedudukan hukum
Islam sebagai Hukum materiil. Diantaranya pemberian wewenang kepada daerah
untuk membuat peratuaran peratuaran daerah, sejak UU No. 22 tahun 1999 yang
materinya dapat bersumberkan dari hukum
agama. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang membolehkan
dibuatnya Hukum Pidana Islam. Kemudian terakhir UU no 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
E. KESIMPULAN
Politik hukum secara etimologi adalah kebijakan hukum, adapun
kebijakan sendiri dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian, konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum
adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam pelaksaaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang
hukum. Secara terminologi politik hukum adalah legal
policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah
Indonesia. Legal policy ini terdiri dari pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan.
Hukum Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan
wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui
dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam dan muatan yang
terdapat dalam hukum Islam mampu menyelesaikan segala persoalan dalam masyarakat
yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Hukum ini dapat
memenuhi aspirasi masyarakat bukan hanya masa kini tetapi juga dapat dijadikan
sebagai bahan acuan dalam mengganti pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial
sekarang maupun yang akan datang.
Untuk
mensyar’ikan peraturan perundang-undangan, Pertama UUD 1945 hasil amandemen,
khususnya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, UU 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 17/2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Saat ini semua produk
hukum di Indonesia harus memperhatikan HAM, kesetaraan gender dan anti diskriminasi,
Hal kedua nilai yuridis keagamaan,. terakhir ialah nilai sosiologis.
Upaya tersebut tidaklah mudah, masih
kuatnya pengaruh Teori Receptie dan beberapa faktor lain : Perubahan
Nilai-Nilai Dalam Masyarakat, Pemahaman Yang Keliru Terhadap Hukum Islam, Perbedaan
Mahzab di Dalam Islam dan Penyimpangan Penafsiran Undang-Undang menghambat
perkembangan Hukum Islam.
Posisi
syariat Islam (hukum Islam) dalam tata hukum nasional merupakan sumber hukum
materiil yang dapat digabung dengan sumber hukum-hukum lainnya kecuali untuk hal-hal yang sifatnya pelayanan dalam
hal-hal terkait dengan peribatan yang mahdhah seperti penyelenggaraan haji,
zakat dan sebagainya. Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama
tertentu, tetapi negara wajib melayani dan melindungi secara hukum bagi mereka
yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dengan kesadarannya sendiri
DAFTAR
PUSTAKA
Appeldoorn, LJ. Van., Pengantar
Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), 1981.
Hartono,
Sunaryati, Prof., Dr., CFG., SH, Politik
Hukum menuju Satu sistem Hukum Nasional, (Bandung : Alumni) 1991.
Kairsy, David . The Politics of
Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,) 1990
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam
Mahfud, Moh. MD,. Prof.,Dr.,
Politik Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Varia Peradilan majalah Hukum
Tahun XXV no. 290 Januari 2010 (Ikahi : Jakarta)
Manan,
Abdul,Prof., Dr., SH. SIP., M.Hum.,
Hukum Islam Persoalan Masa Kini dan Harapan Masa Depan dalam Bingkai Pluralisme
Bangsa, Jurnal Mimbar Hukum, edisi No. 72, 2010, PPHIMM
Marbun, Rocky, MH., Faktor Penghambat Dalam Menerapkan Konsep
Hukum Pidana Islam Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi, http://forumduniahukum.blogspot.com/2010/11/faktor-penghambat-dalam-menerapkan.html.
Radhie,
Teuku Muhammad dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973.
Rajagukguk,
Erman.,
Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, Disampaikan pada Diskusi Panel
dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandungke-37, 2 April 2005.
Syaukani,
Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta :Raja Grafindo),
2008.
Tambunan, A.S.S., Politik Hukum
Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers,) 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Zamzami Mukhtar, Drs.
H., SH., MH., Jalan Berliku Mensyar’ikan
Undang-Undang, Badilag.net, Senin, 24 Januari 2011 10:39
[1] Mukhrom, S.HI, Hakim Pengadilan Agama Bengkayang, Kalimantan Barat
[2] Lilik Mulyadi, Politik Hukum dalam Kebijakan Legislasi pembalikan
terhadap beban Pembuktian terhadap Kesalahan dan Harta kekayaan Pelaku Tindak
Pidana Korupsi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXVII No. 302 Januari 2011,
IKAHI
[3] Erman Rajagukguk, ILMU HUKUM
INDONESIA: PLURALISME, Disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies
Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandungke-37, 2 April 2005
[4] Sunaryati Hartono, Politik
Hukum menuju Satu sistem Hukum Nasional, (Bandung : Alumni) 1991.
[5]
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam
[6] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum,
(Jakarta :Raja Grafindo), 2008
[7] Ibid
[8]
LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
[9]
A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis
Publishers, 2002), hlm. 9.
[10]
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York:
Pantheon Books,1990)
[11] Imam Syaukani, op cit.
[13]
A.S.S. Tambunan, Ibid. Lihat referensi aslinya Abdul Hakim Garuda Nusantara,
Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI,) 1988.
[14] Abdul Manan, Hukum Islam Persoalan Masa Kini dan Harapan Masa Depan
dalam Bingkai Pluralisme Bangsa, Jurnal Mimbar Hukum, edisi No. 72, 2010, PPHIMM.
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Imam Syaukani, op cit
[18] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Varia
Peradilan majalah Hukum Tahun XXV no. 290 Januari 2010 (Ikahi :jakarta)
[19] Mukhtar Zamzami, Jalan Berliku Mensyar’ikan
Undang-Undang, Badilag.net, Senin, 24 Januari 2011 10:39
[20] Rocky Marbun, Faktor
Penghambat Dalam Menerapkan Konsep Hukum Pidana Islam Dalam Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Pornografi, http://forumduniahukum.blogspot.com/2010/11/faktor-penghambat-dalam-menerapkan.html
[21] Moh. Mahfud MD, Op Cit.
0 comments:
Post a Comment